Senin, 31 Desember 2012

Perihal Mesjid

1. Semua lahan adalah mesjid, kecuali kuburan dan tempat pemandian. (HR. Ahmad)


2. Rasulullah Saw menyuruh kita membangun masjid-masjid di daerah-daerah dan agar masjid-masjid itu dipelihara kebersihan dan keharumannya. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)


3. Aku tidak menyuruh kamu membangun masjid untuk kemewahan (keindahan) sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani. (HR. Ibnu Hibban dan Abu Dawud)


4. Janganlah menjadikan kuburanku sebagai tempat pemujaan berhala. Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan-kuburan para nabi sebagai masjid-masjid. (HR. Bukhari dan Abu Ya'la)


5. Mimbarku (terletak) di tepi jalur menuju surga. Antara mimbarku dan kamarku adalah taman dari taman-taman surga. (HR. Ahmad)


6. Tidak dibenarkan ziarah (kunjungan) ke masjid-masjid kecuali pada ketiga masjid, yaitu masjidil Haram (Mekah), masjidil Aqsha (Baitul Maqdis), dan masjidku ini (Madinah). (HR. Bukhari dan Muslim)


7. Shalat di masjidku ini lebih afdol (utama) dari seribu shalat di masjid-masjid lainnya, kecuali masjidil Haram, dan shalat di masjidil Haram lebih afdol (utama) dari seratus shalat di masjidku ini. (HR. Ahmad)


8. Apabila seorang mengantuk saat shalat Jum'at di masjid maka hendaklah pindah tempat duduknya ke tempat duduk lainnya. (HR. Al Hakim dan Al-Baihaqi)


9. Bila seorang masuk ke masjid hendaklah shalat (sunnat) dua rakaat sebelum duduk. (HR. Ahmad)


10. Apabila seorang isteri minta ijin suaminya untuk pergi ke masjid maka janganlah sang suami melarangnya. (HR. Bukhari)


11. Sebaik-baik masjid (tempat bersujud) untuk wanita ialah dalam rumahnya sendiri. (HR. Al-Baihaqi dan Asysyihaab)


12. Tidak ada shalat bagi tetangga masjid, selain dalam masjid. (HR. Adarqathani)


13. Apabila kamu melihat orang yang terbiasa masuk masjid maka saksikanlah bahwa dia beriman karena sesungguhnya Allah telah berfirman dalam surat At taubah ayat 18: "Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah lah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Maka mereka lah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)


14. Beritakanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan kaki di malam gelap-gulita menuju masjid bahwa bagi mereka cahaya yang terang-benderang di hari kiamat. (HR. Al Hakim dan Tirmidzi)


15. Barangsiapa membangun untuk Allah sebuah masjid (mushola) walaupun sebesar kandang unggas (rumah gubuk) maka Allah akan membangun baginya rumah di surga. (HR. Asysyihaab dan Al Bazzar)


16. Nabi Saw bertanya kepada malaikat Jibril As, "Wahai Jibril, tempat manakah yang paling disenangi Allah?" Jibril As menjawab, "Masjid-masjid dan yang paling disenangi ialah orang yang pertama masuk dan yang terakhir ke luar meninggalkannya." Nabi Saw bertanya lagi," Tempat manakah yang paling tidak disukai oleh Allah Ta'ala?" Jibril menjawab, "Pasar-pasar dan orang-orang yang paling dahulu memasukinya dan paling akhir meninggalkannya." (HR. Muslim)

Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press

Surga dan Neraka

1. Surga dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disukai dan neraka dikelilingi oleh syahwat. (HR. Bukhari)


2. Aku menjenguk ke surga, aku dapati kebanyakan penghuninya orang-orang fakir-miskin dan aku menjenguk ke neraka, aku dapati kebanyakan penghuninya kaum wanita. (HR. Ahmad)

3. Tiada sesuatu yang disesali oleh penghuni surga kecuali satu jam yang mereka lewatkan (di dunia) tanpa mereka gunakan untuk berzikir kepada Allah Azza wajalla. (HR. Ad-Dailami)

4. Aku (Rasulullah Saw) bertemu (nabi) Ibrahim ketika Isra'. Dia berkata, "Ya Muhammad, sampaikan salamku kepada umatmu dan beritahukan mereka: "Sesungguhnya surga itu baik lahannya, tawar airnya, lembah-lembahnya datar dan tanamannya: 'Subhanallah walhamdulillah walailaha illallah wallahu akbar'." [hadits ini tidak dituliskan siapa yang meriwayatkannya, karena itu saya sertakan teks arabnya]


5. Tidak ada di surga sesuatu yang sama seperti yang ada di dunia kecuali nama-nama orang. (Ath-Thabrani)


6. Rasulullah Saw bersabda bahwa Allah Swt berfirman: "Aku menyiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh apa-apa yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan belum pernah terlintas dalam benak manusia. Oleh karena itu bacalah kalau kamu suka ayat: 'Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.' (As-Sajdah: 17)." (Mutafaq'alaih)


7. Penghuni neraka ialah orang yang buruk perilaku dan akhlaknya dan orang yang berjalan dengan sombong, sombong terhadap orang lain, menumpuk harta kekayaan dan bersifat kikir. Adapun penghuni surga ialah rakyat yang lemah, yang selalu dikalahkan. (HR. Al Hakim dan Ahmad)


8. Azab yang paling ringan di neraka pada hari kiamat ialah dua butir bara api di kedua telapak kakinya yang dapat merebus otak. (HR. Tirmidzi)


9. Api anak Adam yang biasa dipakai untuk memasak adalah bagian dari tujuh puluh bagian api neraka. (Artinya, panas di neraka 70 kali lipat panas api di dunia). (HR. Bukhari)


10. Nabi Saw masuk surga, orang yang mati syahid, anak yang belum dewasa (baligh) dan anak perempuan kecil yang dikubur hidup-hidup masuk surga juga. (HR. Abu Dawud)

 Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press

Silsilah Hadits-Hadits Dla'if Pilihan-4 [Barangsiapa Yang Tidur Setelah 'Ashar...] (Karya Syaikh al-Albani)

Mukaddimah

Selama ini barangkali banyak di antara kita yang masih beranggapan bahwa tidur setelah ‘Ashar tidak dibolehkan dengan berpegang kepada hadits ini.
Nah, benarkah demikian? Apakah hadits tersebut dapat dipertanggungjawabkan? Berikut penjelasannya!


Naskah Hadits



مَنْ ناَمَ بَعْدَ اْلعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ


“Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela selain dirinya sendiri.”

Kualitas Hadits

Hadits ini DHA’IF (LEMAH).

Takhrij Hadits

Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitabnya adh-Dhu’afaa’ Wa al-Majruuhiin (I:283) melalui jalur Khalid bin al-Qasim, dari al-Layts bin Sa’d, dari ‘Uqail, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah secara Marfu’.

Ibnu al-Jawzi juga mengemukakan hadits ini di dalam kitabnya al-Mawdhuu’aat (III:69), ia berkata, “Tidak SHAHIH, Khalid seorang pembohong. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Lahii’ah yang mengambilnya dari Khalid lalu menisbatkannya kepada al-Layts.

Imam as-Suyuthi di dalam al-La’aali (II:150) berkata, “al-Hakim dan periwayat lainnya mengatakan, Khalid hanya menyisipkan nama al-Layts dari hadits Ibn Lahii’ah.”

Kemudian as-Suyuthi menyebutkannya dari jalur Ibn Lahii’ah, terkadang ia berkata, “Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’.” Terkadang ia berkata, “Dari Ibn Syihab (az-Zuhri-red), dari Anas secara marfu’.

Ibn Lahii’ah dinilai Dha’if karena hafalannya. Ia juga meriwayatkan dari jalur lain: dikeluarkan oleh Ibn ‘Adi dalam al-Kaamil (I:211); as-Sahmi di dalam Taarikh Jurjaan (53), darinya (Ibn Lahii’ah), dari ‘Uqail, dari Makhul secaa marfu’ dan mursal. Keduanya (Ibn ‘Adi dan as-Sahmi mengeluarkannya dari jalur Marwan, yang berkata, “Aku bertanya kepada al-Layts bin Sa’d – karena au pernah melihatnya tidur setelah ‘Ashar di bulan Ramadhan-, ‘Wahai Abu al-Harits! Kenapa kamu tidur setelah ‘Ashar padahal Ibn Lahii’a telah meriwayatkan hadits seperti itu kepada kita..[Marwan kemudian menyebutkan teks hadits di atas]. Maka al-Layts menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang berguna bagiku hanya karena hadits Ibn Lahii’ah dari ‘Uqail.!”

Kemudian Ibn ‘Ad juga meriwayatkan dari jalur Manshur bin ‘Ammar, ia berkata, ‘Ibn Lahii’ah menceritakan kepada kami’, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya.’

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Abu Nu’aim di dalam ath-Thibb an-Nabawi (II:12), dari ‘Amr bin al-Hushain, dari Ibn ‘Ilaatsah, dari al-Awza’i, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah secara marfu’. ‘Amr bin al-Hushain ini adalah seorang pembohong sebagaimana yang dikatakan al-Khathib dan ulama hadits lainnya. ia periwayat hadits lain tentang keutamaan ‘Adas (sejenis makanan. Kualitas hadits ini adalah palsu. Lihat: silsilah al-Ahaadits adh-Dha’iifah Wa al-Mawdhuu’ah karya Syaikh al-Albani, no.40, Jld.I, hal.114-red)

Komentar Syaikh al-Albani

Saya sangat terpukau dengan jawaban al-Layts tersebut di mana hal itu menunjukkan kefaqihan dan keilmuannya. Tentunya, tidak aneh sebab ia termasuk salah satu dari ulama tokoh kaum Muslimin dan seorang ahli fiqih yang terkenal.

Dan saya tahu persis, banyak syaikh-syaikh saat ini yang enggan untuk tidur setelah ‘Ashar sekali pun mereka membutuhkan hal itu. Jika dikatakan kepadanya bahwa hadits mengenai hal itu adalah Dha’if (lemah), pasti ia langsung menjawab, “Hadits Dha’if boleh diamalkan dalam Fadha’il al-A’maal (amalan-amalan yang memiliki keutamaan).!”

Karena itu, renungkanlah perbedaan antara kefaqihan Salaf (generasi terdahulu) dan keilmuan Khalaf (generasi yang datang setelah mereka dan lebih diidentikkan dengan mereka yang pemahamannya, khususnya dari sisi ‘Aqidah bertolak belakang dengan Salaf, wallahu a’lam-red).

(SUMBER: Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fii al-Ummah karya Syaikh al-Albani, Jld.I, hal.113-114, no.39, dengan sedikit perubahan)

Silsilah Hadits-Hadits Dla’if Pilihan-4 [Berbincang-bincang Di Masjid…] (Karya Syaikh al-Albani)

Mukaddimah

Ada sementara orang yang beranggapan bahwa memperbincangkan masalah-masalah duniawi di dalam masjid tidak dibolehkan.

Barangkali hal itu mereka lakukan karena ghirah diniyyah (semangat keagamaan) mereka dan rasa penghormatan yang tinggi terhadap masjid, sekali pun ada banyak di antara mereka pula yang entah secara sadar atau tidak juga mencemari keagungan masjid, seperti merokok di dalamnya saat ada acara tertentu padahal bau rokok dalam banyak hal lebih tidak sedap dari bau bawang yang Rasulullah melarang orang yang memakannya (tidak mencuci mulutnya dengan bersih hingga hilang) untuk mendekati masjid.

Nah, benarkah ngobrol-ngobrol tentang dunia tidak dibolehkan di masjid? Apakah kualitas hadits mengenainya dapat dipertanggung-jawabkan? Silahkan simak!

Naskah Hadits



اْلحَدِيْثُ فِي اْلمَسْجِدِ يَأْكُلُ اْلحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ اْلبَهَائِمُ اْلحَشِيْشَ


“Berbincang-bincang di masjid akan memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana binatang-binatang ternak memakan rerumputan.”

Kualitas Hadits

Hadits ini Tidak ada asal (dasar)-nya.

Takhrij Hadits

Hadits ini diketengahkan oleh al-Ghazali di dalam kitabnya Ihyaa` ‘Uluumid Din (I/136). Kemudian, pentakhrij hadits kitab ini, al-Hafizh al-‘Iraqi berkata, “Aku tidak menemukan akar (dasar)-nya.” Hal ini juga dicatat al-Hafizh di dalam kitab Takhrij al-Kasysyaaf.

‘Abdul Wahhab bin Taqiyuddin as-Subki di dalam kitab Thabaqaat asy-Syaafi’iyyah (IV/145147), “Aku tidak menemukan sanadnya.”

Sedangkan teks yang masyhur dalam perbincangan orang-orang (dari mulut ke mulut) berbunyi, “Pembicaraan yang mubah (dibolehkan, bukan haram) di masjid akan memakan semua kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar” padahal itu itu juga.

(SUMBER: Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fii al-Ummah karya Syaikh al-Albani, Jld.I, h.60, no.4)

Silsilah Hadits-Hadits Dla’if Pilihan-3 [Besar-besarkan Qurban...] (karya Syaikh al-Albany)

Mukaddimah

Pada menjelang hari-hari ‘Idul Qurban ini banyak kita dengar para khatib membacakan hadits-hadits yang intinya memberikan sugesti agar kita berkurban, tetapi kadangkala di antara hadits-hadits tersebut banyak yang perlu ditinjau ulang lagi, apakah kualitasnya terjamin alias dapat dijadikan hujjah atau kah tidak.?

Salah satunya adalah hadits yang kita kaji kali ini, silahkan simak selanjutnya.!!

Teks Hadits



عَظِّمُوْا ضَحَايَاكُمْ فَإِنَّهَا عَلَى الصِّرَاطِ مَطَايَاكُمْ


“Besar-besarkan qurban-qurban kamu sebab ia akan menjadi kendaraanmu di atas shirath (kelak).”

Kualitas hadits: Tidak ada asalnya dengan lafazh semacam ini.

Ibn ash-Shalaah berkata, “Hadits ini tidak dikenal dan tidak tsabit (valid).”

Dinukil oleh syaikh Isma’il al-‘Ajluny di dalam kitab Kasyf al-Khafaa`, sebelumnya dinukil oleh Ibn al-Mulaqqin di dalam kitab al-Khulashah (Jld.II, h.164), dia menambahkan, “Menurutku, pengarang Musnad al-Firdaus menisbatkannya dengan lafazh “Istafrihuu” sebagai ganti lafazh “’Azhzhimuu” (di atas). Kedua-duanya bermakna, “Berkurbanlah dengan qurban yang mahal, kuat dan gemuk.”

Syaikh al-Albany mengomentari: “Dan sanadnya Dla’if Jiddan (lemah sekali).

(Lihat, Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’ifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fi al-Ummah, Jld.I, h.173-174, no.74)

Di dalam buku yang sama, jld.III, h.411, no.1255, Syaikh al-Albany mengetengahkan hadits lainnya yang semakna dengan hadits di atas, hanya berbeda lafazh saja, yaitu dengan teks:



اِسْتَفْرِهُوْا ضَحاَيَاكُمْ فَإِنَّهَا مَطَايَاكُمْ عَلَى الصِّرَاطِ



Syaik al-Albany mengomentari:
“Kualitasnya Dla’if Jiddan (Lemah Sekali). Hadits ini diriwayatkan oleh adl-Dliyaa` di dalam kitab al-Muntaqa Min Masmuu’aatihi Bi Marw (Jld.II, h.33), dari Yahya bin ‘Ubaidullah, dari ayahnya, dia berkata, ‘Aku mendengar Abu Hurairah berkata, … Lalu ia menyebutkannya secara marfu’.”

Menurutku (Syaikh al-Albany):

“Sanad ini Dla’if Jiddan . Alasannya, ada cacat pada periwayat bernama Ibn ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin Mawhib al-Madany. Ahmad berkata, ‘Ia bukan periwayat yang Tsiqah.’ Ibn Abi Hatim dari ayahnya berkata, “Ia seorang periwayat hadits yang lemah, bahkan hadits yang diriwayatkannya Munkar Jiddan.” (Hadits Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang lemah bertentangan dengan riwayat-riwayat para periwayat yang Tsiqat-red.,).

Imam Muslim dan an-Nasa`iy berkata, “Haditsnya ditinggalkan (tidak digubris).”

Sedangkan ayahnya, ‘Ubaidullah adalah seorang periwayat yang Majhul (anonim).

Imam asy-Syafi’iy dan Ahmad berkata (lafazh ini berasal dari Ahmad), “Ia periwayat yang tidak dikenal.”

Sedangkan Ibn Hibban memasukkannya dalam kitabnya “ats-Tsiqaat” yang berkata, “Anaknya, Yahya meriwayatkan darinya, padahal ia tidak ada apa-apanya sedangkan ayahnya seorang periwayat yang Tsiqah. Terjadinya hadits-hadits Munkar pada haditsnya karena bersumber dari anaknya, Yahya.”

Kemudian saya (Syaikh al-Albany) melihat bahwa al-Hafizh Ibn Hajar dalam bukunya Talkhiish al-Habiir (Jld.IV, h.138) berkata, “Dikeluarkan oleh pengarang Musnad al-Firdaus dari jalur Yahya bin ‘Ubaidullah bin Mawhib…Dan Yahya adalah seorang periwayat yang Dla’if Jiddan.”

(Lihat, Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’ifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fi al-Ummah, Jld.III, h.411, no.1255)

Silsilah Hadits-Hadits Dla'if Pilihan-2 (karya Syaikh al-Albany)

HADITS KE-DUA


مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلاَتُهُ عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ، لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا



“Barangsiapa yang shalatnya tidak dapat mencegahnya dari melakukan perbuatan keji dan munkar, niscaya dia hanya semakin jauh dari Allah.”

KUALITAS HADITS

Kualitas hadits ini adalah BATHIL

Takhrij Singkat

Redaksi seperti ini dikeluarkan oleh Imam ath-Thabarany di dalam kitabnya al-Mu’jam al-Kabiir (3:106:2- dalam transkrip azh-Zhaahiriyyah), al-Qudlaa’iy di dalam Musnad asy-Syihaab (43:2), Ibn Abi Haatim di dalam Tafsir Ibn Katsiir (II:414) dan al-Kawkab ad-Daraary (83:2:1) dari jalur Laits dari Thâwûs, dari Ibn ‘Abbas.

Pendapat Para Ulama Hadits

1. al-Haafizh, Ibn Hajar berkata –ketika menyebutkan biografi Laits (salah seorang periwayat dari jalur hadits ini) di dalam bukunya Taqriib at-Tahdziib-, “Seorang yang Shaduuq, di akhir hayatnya banyak berubah (ngelantur) sehinggga tidak dapat membedakan haditsnya. Karena itu, dia ditinggal (tidak digubris perinwatannya).”

2. al-Haafizh al-‘Iraaqy di dalam bukunya Takhrîj al-Ihyaa` (takhrij hadits-hadits yang ada di dalam buku Ihyaa` ‘Uluum ad-Diin-red.,) pada jld.I, h.143, “Sanadnya Layyin.”

3. al-Haitsamy di dalam bukunya Majma’ az-Zawaa`id (I:134) juga mengaitkan cela/cacat hadits ini pada periwayat bernama Laits tersebut.

Di antara Komentar Syaikh al-Albany

Sanad hadits di atas lemah karena kapasitas seorang periwayatnya yang bernama Laits -bin Abi Sulaim-. Dia seorang yang lemah.

Al-Haafizh bin Jarîr juga mengeluarkan hadits ini di dalam tafsirnya (20:92) dari jalur yang lain, dari Ibn ‘Abbas secara Mawquuf (alias perkataan tersebut berasal darinya). Nampaknya inilah yang benar sekalipun di dalam sanadnya tersebut terdapat seorang yang anonim.

Imam Ahmad juga meriwayatkannya di dalam kitab az-Zuhd (h.159) dan ath-Thabarany di dalam al-Mu’jam al-Kabiir dari Ibn Mas’ud secara Mawquuf dengan lafazh,



مَنْ لَمْ تَأْمُرْهُ الصَّلاَةُ بِاْلمَعْرُوْفِ وَتَنْهَاهُ عَنِ اْلمُنْكَرِ، لَمْ يَزْدَدْ بِهَا إِلاَّ بُعْدًا


“Barangsiapa yang shalatnya tidak dapat mengajaknya untuk berbuat ma’ruf dan mencegahnya dari berbuat kemungkaran, niscaya ia hanya semakin membuatnya jauh.”

Sanadnya Shahiih sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Haafizh al-‘Iraaqy sehingga kembali kepada status Mawquuf.

Secara global, penisbahan hadits ini kepada Nabi SAW., tidak shahih. Ia hanya shahih berasal dari ucapan Ibn Mas’ud, al-Hasan al-Bashary dan diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas. (untuk lebih rincinya, silahkan rujuk ke sumber kajian ini)

(SUMBER: Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah karya Syaikh al-Albany, no.2, h.54-59)

Silsilah Hadits-Hadits Dla'if Pilihan-1 (karya Syaikh al-Albany)

Mengingat hadits Dla’if (Lemah) sangat banyak terpublikasi di tengah masyarakat awam dan bahayanya bagi ‘aqidah serta keberagamaan mereka, maka kiranya perlu diantisipasi dengan membongkar dan menyingkap hadits-hadits tersebut serta menjelaskan derajat (kualitas) nya sehingga umat menjadi melek karenanya.

Salah satu upaya yang patut diacungi jempol dan mendapat sambutan positif di kalangan ulama Islam kontemporer, adalah buah karya dari Syaikh al-‘Allamah, Nashiruddin al-Albany atau yang lebih dikenal dengan Syaikh al-Albany. Yaitu, buku beliau yang berjudul Silsilah al-Ahâdîts adl-Dla’îfah yang merupakan matarantai hadits-hadits Dla’if (lemah), yaitu yang dikategorikan Bathil, Tidak ada dasarnya, Tidak Shahih, Dla’îf Jiddan (Lemah Sekali), Munkar, Mawdlu’ (Palsu).

Dengan dimuatnya hadits-hadits tersebut diharapkan kepada kita agar menghindari penggunaannya dan mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang shahih saja. Dalam hal ini, Syaikh al-Albany juga menulis buku yang lain yaitu Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah dimana selain hadits shahih yang dimuat di dalam kitab ash-Shahîhain (Shahîh al-Bukhary dan Muslim), beliau juga telah menyaring dan menyeleksi hadits-hadits yang shahih saja di dalam kitab-kitab selain itu alias as-Sunan al-Arba’ah.

Tentunya, setiap upaya dan niatan yang baik perlu kita junjung dan sanjung dengan selalu berdoa agar Allah menerima amal para pencetusnya. Adapun kesalahan dan kekeliruan, pasti akan ada sebab manusia tidak terlepas dari hal itu, karenanya pula perlu penyempurnaan lebih lanjut atas upaya-upaya yang telah dirintis oleh Syaikh al-Albany tersebut.

Dalam penyajian rubrik ini, kami tidak memuat semua apa yang ditulis dan dipresentasikan oleh Syaikh al-Albany di dalam bukunya tersebut, sebab akan terlalu panjang, di samping ada hal-hal yang bersifat teoritis hadits yang kiranya akan menyulitkan bagi orang awam dan pemula. Tujuan kami di sini, hanyalah ingin mengingatkan dan memberikan wawasan kepada para pembaca bahwa hadits-hadits tersebut adalah lemah (Dla’if) yang para ulama sepakat untuk tidak menjadikannya sebagai hujjah dalam agama, kecuali terkait dengan hadits-hadits Dla’if dalam hal Fadlâ`il al-A’mâl (amalan-amalan ekstra yang bernilai lebih/utama) yang memang ada di antara para ulama memberikan persyaratan-persyaratan tertentu untuk mengamalkannya.

Terlepas dari hal itu, setidaknya apa yang kami muat ini kiranya dapat menjadi bekal bagi para pembaca untuk lebih berhati-hati di dalam menjalankan agama dan barangkali juga bisa mengingatkan orang-orang yang belum mengetahuinya. Rasulullah SAW., bersabda, “Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir (ghaib).”

Semoga amal ibadah dan niat kita senantiasa kita lakukan semata-mata untuk mendapatkan ridla-Nya dan bernilai ikhlash, amin.


1. HADITS PERTAMA



الدِّيْنُ هُوَ اْلعَقْلُ، وَمَنْ لاَ دِيْنَ لَهُ، لاَ عَقْلَ لَهُ



“Agama itu adalah akal, dan siapa yang tidak memiliki agama, maka berarti dia tidak berakal.”

KUALITAS HADITS

Kualitas hadits ini adalah BATHIL

Takhrij Singkat

Redaksi seperti ini dikeluarkan oleh Imam an-Nasa`iy di dalam kitab “al-Kuna” dan juga dikeluarkan darinya oleh ad-Dûlâby di dalam kitab “al-Kuna wa al-Asmâ`” dari Abu Malik, Bisyr bin Ghâlib bin Bisyr bin Ghâlib dari az-Zuhry dari Mujammi’ bin Jariyah dari pamannya secara marfu’ dengan tanpa dimulai dengan kalimat pertama di atas “ad-Dîn Huwa al-‘Aql” .

Pendapat Para Ulama Hadits

1. Imam an-Nasa`iy, “Ini adalah hadits Bathil dan Munkar.”
2. Ibn Hajar (ketika mengomentari lebih kurang 30-an hadits tentang keutamaan akal yang dikeluarkan oleh al-Hârits bin Abi Usâmah di dalam musnadnya) berkata, “Semuanya Mawdlu’”
3. Ibn al-Qayyim, “Hadits-hadits tentang akal semuanya adalah dusta.”

Komentar Syaikh al-Albany

Alasan kelemahan hadits ini adalah pada salah seorang periwayatnya yang bernama Bisyr karena dia seorang periwayat yang Majhûl (anonim) sebagaimana dikatakan oleh al-Azdy dan disetujui oleh Imam adz-Dzahaby di dalam kitabnya Mîzân al-I’tidâl Fî Naqd ar-Rijâl dan Ibn Hajar al-‘Asqalâny di dalam bukunya Lisân al-Mîzân.

Semua hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan akal tidak ada satupun yang shahih, sehingga berkisar antara kualitas Dla’if dan Mawdlu’ (Palsu). Hadits-hadits seperti ini banyak terkoleksi di dalam buku “al-‘Aql wa Fadl-luhu” karya Abu Bakar bin Abu ad-Dun-ya atau yang lebih dikenal dengan Ibn Abi ad-Dun-ya bahkan beliau mengkritik diamnya pentashih buku tersebut, Syaikh Muhammad Zâhid al-Kautsary atas riwayat-riwayat yang kualitasnya demikian.

(SUMBER: Silsilah al-Ahâdîts adl-Dla’îfah karya Syaikh al-Albany, no.1, h.53-54)

Minggu, 30 Desember 2012

WANITA KELUAR RUMAH DENGAN MEMAKAI PARFUM SEHINGGA MENGGODA LAKI-LAKI.

Inilah kebiasaan yang menjadi fenomena umum di kalangan wanita. Keluar rumah dengan menggunakan parfum yang wanginya menjelajahi segala ruang. Hal yang menjadikan laki-laki lebih tergoda karena umpan wewangian yang manghampirinya.

 Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam amat keras mamperingatkan masalah tersebut. Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :

 “Perempuan manapun yang menggunakan parfum kemudian melewati suatu kaum agar mereka mencium wanginya maka dia seorang pezina” (HR Ahmad, 4/418; shahihul jam’: 105)

 sebagian wanita melalaikan dan meremehkan masalah ini, sehingga dengan sembarangan memakai parfum. Tak peduli di sampingnya ada sopir, penjual, saptam, atau orang lain yang tak mustahil akan tergoda.

 Dalam masalah ini, syariat Islam amat keras. Perempuan yang telah terlanjur memakai parfum jika hendak keluar rumah ia di wajibkan mandi terlebih dahulu seperti mandi jinabat, meskipun tujuan keluarnya ke masjid. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

 “Perempuan manapun yang memakai parfum  kemudian keluar ke masjid (dengan tujuan) agar wanginya tercium orang lain maka shalatnya tidak diterima sehingga ia mandi sebagaimana mandi jinabat” (HR Ahmad2/444, shahihul jam’ :2073.)

 Setelah berbagai peringatan kita sampaikan, akhirnya kita hanya bisa mengadu kepada Allah soal para wanita yang memakai parfum dalam pesta dan berbagai pertemuan yang diselenggarakan. Bahkan parfum yang wanginya menyengat hidung itu tak saja digunakan dalam waktu-waktu khusus, tetapi mereka gunakan  di pasar-pasar di kendaraan dan di pertemuan-pertemuan umum hingga di masjid-masjid pada malam-malam bulan suci Ramadhan.

 Syariat Islam memberi batasan, parfum wanita muslimah adalah yang tampak warnanya dan tidak keras semerbak wanginya.

Kita memohon kepada Allah, semoga Ia tidak murka kepada kita, semoga tidak menghukum orang-orang shalih baik laki-laki maupun perempuan dengan sebab dosa orang-orang bodoh dan semoga menunjuki kita semua ke jalan yang lurus.

Sabtu, 29 Desember 2012

Duduk bersama orang-orang munafik atau fasik untuk beramah tamah

Banyak orang lemah iman bergaul dengan sebagian orang fasik dan ahli maksiat, bahkan mungkin bergaul pula dengan sebagian orang yang menghina syariat Islam, melecehkan Islam dan para penganutnya.

Tidak diragukan lagi, perbuatan semacam itu adalah haram dan membuat cacat akidah, Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain, dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka jangnlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat (akan larangan itu) (Al An’am : 68).

Karenanya, jika keadaan mereka sebagaimana yang disebutkan oleh ayat di muka, betapapun hubungan kekerabatan, keramahan dan manisnya mulut mereka, kita dilarang duduk bersama mereka, kecuali bagi orang yang ingin berdakwah kepada mereka, membantah  kebatilan atau mengingkari mereka, maka hal itu dibolehkan. Adapun bila hanya dengan diam, atau malah rela dengan keadaan mereka maka hukumnya haram. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Jika sekiranya kamu ridha kepada mereka maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik” (At Taubah : 96)

TIDAK THUMA’NINAH DALAM SHALAT

Di antara kejahatan pencurian terbesar adalah pencurian dalam shalat. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :.

“Sejahat-jahat pencuri adalah orang yang mencuri dalam shalatnya, mereka bertanya : “ bagaimana ia mencuri dalam shalatnya? Beliau menjawab : (Ia) tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya [Hadits riwayat Imam Ahmad, 5 / 310 dan dalam Shahihul jami’ hadits no : 997]

Thuma’ninah adalah diam beberapa saat setelah tenangnya anggota-anggota badan. Para Ulama memberi batasan minimal dengan lama waktu yang diperlukan ketika membaca tasbih. Lihat fiqhus sunnah, sayyid sabiq : 1/ 124 (pent)

Meninggalkan  Thuma’ninah, tidak meluruskan dan mendiamkan punggung sesaat ketika ruku’ dan sujud, tidak tegak ketika bangkit dari ruku’ serta ketika duduk antara dua sujud, semuanya merupakan kebiasaan yang sering dilakukan oleh sebagian besar kaum muslimin. Bahkan hampir bisa dikatakan, tak ada satu masjid pun kecuali di dalamnya terdapat orang-orang yang tidak thuma’ninah dalam shalatnya.

Thuma’ninah adalah rukun shalat, tanpa melakukannya shalat menjadi tidak sah. Ini sungguh persoalan yang sangat serius. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Tidak sah shalat seseorang, sehingga ia menegakkan (meluruskan) punggungnya ketika ruku’ dan sujud “ (HR. Abu Dawud : 1/ 533, dalam shahih jami’ hadits No :7224)

Tak diragukan lagi, ini suatu kemungkaran, pelakunya harus dicegah dan diperingatkan akan ancamannya.

Abu Abdillah Al Asy’ari berkata : “ (suatu ketika) Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam shalat bersama shahabatnya kemudian Beliau duduk bersama sekelompok dari mereka. Tiba-tiba seorang laki-laki masuk dan berdiri menunaikan shalat. Orang itu ruku’ lalu sujud dengan cara mematuk, maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam barsabda :

“Apakah kalian menyaksikan orang ini ? barang siapa meninggal dalam keadaan seperti ini (shalatnya) maka dia meninggal dalam keadaan di luar agama Muhammad. Ia mematuk dalam shalatnya sebagaiman burung gagak mematuk darah. Sesungguhnya perumpamaan orang yang shalat dan mematuk dalam sujudnya bagaikan orang lapar yang tidak makan kecuali sebutir atau dua butir kurma, bagaimana ia bisa merasa cukup (kenyang) dengannya. [Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya : 1/ 332, lihat pula shifatus shalatin Nabi, Oleh Al Albani hal : 131]

Sujud dengan cara mematuk maksudnya : sujud dengan cara tidak menempelkan hidung dengan lantai, dengan kata lain, sujud itu tidak sempurna, sujud yang sempurna adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas bahwasanya ia mendengar Nabi Shallallahu’alaihi wasallam besabda : “jika seseorang hamba sujud maka ia sujud denga tujuh anggota badan (nya), wajah, dua telapak tangan, dua lutut dan dua telapak kakinya”. [HR Jamaah, kecuali Bukhari, lihat fiqhus sunnah, sayyid sabiq : 1/ 124]

Zaid bin wahb berkata : Hudzaifah pernah melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, ia lalu berkata : kamu belum shalat, seandainya engkau mati (dengan membawa shalat seperti ini) niscaya engkau mati di luar fitrah (Islam )yang sesuai dengan fitrah diciptakannya Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam.

Orang yang tidak thuma’ninah dalam shalat, sedang ia mengetahui hukumnya, maka wajib baginya mengulangi shalatnya seketika dan bertaubat atas shalat-shalat yang dia lakukan tanpa thuma’ninah pada masa-masa lalu. Ia tidak wajib mengulangi shalat-shalatnya di masa lalu, berdasarkan hadits :

“Kembalilah, dan shalatlah, sesungguhnya engkau belum shalat.
TIDAK THUMA’NINAH DALAM SHALAT

Di antara kejahatan pencurian terbesar adalah pencurian dalam shalat. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :.

“Sejahat-jahat pencuri adalah orang yang mencuri dalam shalatnya, mereka bertanya : “ bagaimana ia mencuri dalam shalatnya? Beliau menjawab : (Ia) tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya [Hadits riwayat Imam Ahmad, 5 / 310 dan dalam Shahihul jami’ hadits no : 997]

Thuma’ninah adalah diam beberapa saat setelah tenangnya anggota-anggota badan. Para Ulama memberi batasan minimal dengan lama waktu yang diperlukan ketika membaca tasbih. Lihat fiqhus sunnah, sayyid sabiq : 1/ 124 (pent)

Meninggalkan  Thuma’ninah, tidak meluruskan dan mendiamkan punggung sesaat ketika ruku’ dan sujud, tidak tegak ketika bangkit dari ruku’ serta ketika duduk antara dua sujud, semuanya merupakan kebiasaan yang sering dilakukan oleh sebagian besar kaum muslimin. Bahkan hampir bisa dikatakan, tak ada satu masjid pun kecuali di dalamnya terdapat orang-orang yang tidak thuma’ninah dalam shalatnya.

Thuma’ninah adalah rukun shalat, tanpa melakukannya shalat menjadi tidak sah. Ini sungguh persoalan yang sangat serius. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Tidak sah shalat seseorang, sehingga ia menegakkan (meluruskan) punggungnya ketika ruku’ dan sujud “ (HR. Abu Dawud : 1/ 533, dalam shahih jami’ hadits No :7224)

Tak diragukan lagi, ini suatu kemungkaran, pelakunya harus dicegah dan diperingatkan akan ancamannya.

Abu Abdillah Al Asy’ari berkata : “ (suatu ketika) Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam shalat bersama shahabatnya kemudian Beliau duduk bersama sekelompok dari mereka. Tiba-tiba seorang laki-laki masuk dan berdiri menunaikan shalat. Orang itu ruku’ lalu sujud dengan cara mematuk, maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam barsabda :

“Apakah kalian menyaksikan orang ini ? barang siapa meninggal dalam keadaan seperti ini (shalatnya) maka dia meninggal dalam keadaan di luar agama Muhammad. Ia mematuk dalam shalatnya sebagaiman burung gagak mematuk darah. Sesungguhnya perumpamaan orang yang shalat dan mematuk dalam sujudnya bagaikan orang lapar yang tidak makan kecuali sebutir atau dua butir kurma, bagaimana ia bisa merasa cukup (kenyang) dengannya. [Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya : 1/ 332, lihat pula shifatus shalatin Nabi, Oleh Al Albani hal : 131]

Sujud dengan cara mematuk maksudnya : sujud dengan cara tidak menempelkan hidung dengan lantai, dengan kata lain, sujud itu tidak sempurna, sujud yang sempurna adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas bahwasanya ia mendengar Nabi Shallallahu’alaihi wasallam besabda : “jika seseorang hamba sujud maka ia sujud denga tujuh anggota badan (nya), wajah, dua telapak tangan, dua lutut dan dua telapak kakinya”. [HR Jamaah, kecuali Bukhari, lihat fiqhus sunnah, sayyid sabiq : 1/ 124]

Zaid bin wahb berkata : Hudzaifah pernah melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, ia lalu berkata : kamu belum shalat, seandainya engkau mati (dengan membawa shalat seperti ini) niscaya engkau mati di luar fitrah (Islam )yang sesuai dengan fitrah diciptakannya Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam.

Orang yang tidak thuma’ninah dalam shalat, sedang ia mengetahui hukumnya, maka wajib baginya mengulangi shalatnya seketika dan bertaubat atas shalat-shalat yang dia lakukan tanpa thuma’ninah pada masa-masa lalu. Ia tidak wajib mengulangi shalat-shalatnya di masa lalu, berdasarkan hadits :

“Kembalilah, dan shalatlah, sesungguhnya engkau belum shalat.

Bersumpah dengan nama selain Allah

Bersumpah dengan nama selain Allah.

Allah bersumpah dengan nama apa saja yang Ia kehendaki dari segenap makhlukNya. Sedangkan makhluk, mereka tidak di bolehkan bersumpah dengan nama selain Allah. Namun bila kita saksikan kenyataan sehari-hari, betapa banyak orang yang bersumpah dengan nama selain Allah.

Sumpah salah satu bentuk pengagungan. Karenanya ia tidak layak diberikan kecuali kepada Allah Tabaroka wata’ala. Dalam sebuah hadits marfu’ dari Ibnu Umar diriwayatkan :

“Ketahuilah, sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan nama nenek moyangmu. Barang siapa bersumpah hendaknya ia bersumpah dengan nama Allah atau diam [Hadits riwayat Al Bukhari, lihat Fathul Bari : 11/ 530]

Dan dalam hadits Ibnu Umar yang lain :

“Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah maka dia telah berbuat syirik” (HR Imam Ahmad:2/ 125, lihat pula shahihil jami’:6204)

Dalam hadits lain Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“ barang siapa bersumpah demi amanat maka dia tidak termasuk golonganku” (HR abu Dawud :no: 3253 dan silsilah Ash Shahihah :94)

Karena itu tidak boleh sumpah demi Ka’bah, demi amanat, demi kemuliaan, dan demi pertolongan. Juga tidak boleh bersumpah dengan berkah atau hidup seseorang. Tidak pula dengan kemuliaan Nabi, para wali, nenek moyang, atau anak tertua. Semua hal tersebut adalah haram.

Barangsiapa terjerumus melakukan sumpah tersebut maka kaffaratnya (tebusannya) adalah membaca : laa Ilaaha Illallah sebagaimana tersebut dalam hadits shahih :

“barangsiapa bersumpah, kemudian dalam sumpahnya ia berkata: demi latta dan ‘uzza maka hendanya ia mengucapkan: Laa Ilaaha Illallaah” (HR Bukhari, fathul Bari :11/546)

Termasuk dalam bab ini adalah beberapa lafadz syirik dan lafadz yang diharamkan, yang biasa diucapkan oleh sebagian kaum muslimin. Di antaranya adalah : Aku berlindung kepada Allah dan kepadamu, saya bertawakkal kepada Allah dan kepadamu, ini adalah dari Allah dan darimu, tak ada yang lain bagiku selain Allah dan kamu, di langit cukup bagiku Allah dan di bumi cukup bagiku kamu, kalau bukan karena Allah dan fulan, saya terlepas diri dari Islam, wahai waktu yang sial, alam berkehendak lain, dan lain sebagainya.

[Yang benar hendaknya diucapkan dengan kata kemudian. Misalnya, saya berhasil karena Allah kemudian karena kamu. Dan dalam lafadz-lafadz yang lain. Syaikh Bin Baz]

[Demikian pula dengan setiap kalimat yang mengandumg pencelaan terhadap waktu seperti, ini zaman edan, ini saat yang penuh kesialan, zaman yang memperdaya, dll. Sebab pencelaan kepada masa akan kembali kepada Allah, karena Dialah yang menciptakan masa tersebut. Syaikh Bin Baz]

Termasuk dalam bab ini pula adalah menamakan seseorang dengan nama-nama yang dihambakan kepada selain Allah seperti Abdul Masih, Abdun Nabi, Abdur Rasul, Abdul Husain.

Di Antara istilah dan semboyan modern yang bertentangan dengan tauhid adalah :  Islam sosialis, demokrasi Islam, kehendak rakyat adalah kehendak Tuhan, agama untuk Allah dan tanah air untuk semua, atas nama arabisme, atau nama revolusi dsb.

Termasuk hal yang diharamkan adalah memberikan gelar raja diraja, hakim para hakim atau gelar sejenisnya kepada seseorang. Memanggil dengan nama sayyid (tuan) atau yang semakna kepada orang munafik atau kafir, dengan bahasa arab atau bahasa lainnya.

Termasuk di dalamnya menggunakan kata “andaikata” yang menunjukkan penyesalan dan kebencian sehingga membuka pintu bagi syaitan.

Termasuk juga yang dilarang adalah ucapan “Ya Allah ampunilah aku jika Engkau menghendaki” [Untuk pembahasan yang lebih luas, lihat mu’jamul manahi Al Lafdziyyah, syaikh Bakr Abu Zaid]

Bersumpah dengan nama selain Allah

Allah bersumpah dengan nama apa saja yang Ia kehendaki dari segenap makhlukNya. Sedangkan makhluk, mereka tidak di bolehkan bersumpah dengan nama selain Allah. Namun bila kita saksikan kenyataan sehari-hari, betapa banyak orang yang bersumpah dengan nama selain Allah.

Sumpah salah satu bentuk pengagungan. Karenanya ia tidak layak diberikan kecuali kepada Allah Tabaroka wata’ala. Dalam sebuah hadits marfu’ dari Ibnu Umar diriwayatkan :

“Ketahuilah, sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan nama nenek moyangmu. Barang siapa bersumpah hendaknya ia bersumpah dengan nama Allah atau diam [Hadits riwayat Al Bukhari, lihat Fathul Bari : 11/ 530]

Dan dalam hadits Ibnu Umar yang lain :

“Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah maka dia telah berbuat syirik” (HR Imam Ahmad:2/ 125, lihat pula shahihil jami’:6204)

Dalam hadits lain Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“ barang siapa bersumpah demi amanat maka dia tidak termasuk golonganku” (HR abu Dawud :no: 3253 dan silsilah Ash Shahihah :94)

Karena itu tidak boleh sumpah demi Ka’bah, demi amanat, demi kemuliaan, dan demi pertolongan. Juga tidak boleh bersumpah dengan berkah atau hidup seseorang. Tidak pula dengan kemuliaan Nabi, para wali, nenek moyang, atau anak tertua. Semua hal tersebut adalah haram.

Barangsiapa terjerumus melakukan sumpah tersebut maka kaffaratnya (tebusannya) adalah membaca : laa Ilaaha Illallah sebagaimana tersebut dalam hadits shahih :

“barangsiapa bersumpah, kemudian dalam sumpahnya ia berkata: demi latta dan ‘uzza maka hendanya ia mengucapkan: Laa Ilaaha Illallaah” (HR Bukhari, fathul Bari :11/546)

Termasuk dalam bab ini adalah beberapa lafadz syirik dan lafadz yang diharamkan, yang biasa diucapkan oleh sebagian kaum muslimin. Di antaranya adalah : Aku berlindung kepada Allah dan kepadamu, saya bertawakkal kepada Allah dan kepadamu, ini adalah dari Allah dan darimu, tak ada yang lain bagiku selain Allah dan kamu, di langit cukup bagiku Allah dan di bumi cukup bagiku kamu, kalau bukan karena Allah dan fulan, saya terlepas diri dari Islam, wahai waktu yang sial, alam berkehendak lain, dan lain sebagainya.

[Yang benar hendaknya diucapkan dengan kata kemudian. Misalnya, saya berhasil karena Allah kemudian karena kamu. Dan dalam lafadz-lafadz yang lain. Syaikh Bin Baz]

[Demikian pula dengan setiap kalimat yang mengandumg pencelaan terhadap waktu seperti, ini zaman edan, ini saat yang penuh kesialan, zaman yang memperdaya, dll. Sebab pencelaan kepada masa akan kembali kepada Allah, karena Dialah yang menciptakan masa tersebut. Syaikh Bin Baz]

Termasuk dalam bab ini pula adalah menamakan seseorang dengan nama-nama yang dihambakan kepada selain Allah seperti Abdul Masih, Abdun Nabi, Abdur Rasul, Abdul Husain.

Di Antara istilah dan semboyan modern yang bertentangan dengan tauhid adalah :  Islam sosialis, demokrasi Islam, kehendak rakyat adalah kehendak Tuhan, agama untuk Allah dan tanah air untuk semua, atas nama arabisme, atau nama revolusi dsb.

Termasuk hal yang diharamkan adalah memberikan gelar raja diraja, hakim para hakim atau gelar sejenisnya kepada seseorang. Memanggil dengan nama sayyid (tuan) atau yang semakna kepada orang munafik atau kafir, dengan bahasa arab atau bahasa lainnya.

Termasuk di dalamnya menggunakan kata “andaikata” yang menunjukkan penyesalan dan kebencian sehingga membuka pintu bagi syaitan.

Termasuk juga yang dilarang adalah ucapan “Ya Allah ampunilah aku jika Engkau menghendaki” [Untuk pembahasan yang lebih luas, lihat mu’jamul manahi Al Lafdziyyah, syaikh Bakr Abu Zaid]
Bersumpah dengan nama selain Allah.

Allah bersumpah dengan nama apa saja yang Ia kehendaki dari segenap makhlukNya. Sedangkan makhluk, mereka tidak di bolehkan bersumpah dengan nama selain Allah. Namun bila kita saksikan kenyataan sehari-hari, betapa banyak orang yang bersumpah dengan nama selain Allah.

Sumpah salah satu bentuk pengagungan. Karenanya ia tidak layak diberikan kecuali kepada Allah Tabaroka wata’ala. Dalam sebuah hadits marfu’ dari Ibnu Umar diriwayatkan :

“Ketahuilah, sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan nama nenek moyangmu. Barang siapa bersumpah hendaknya ia bersumpah dengan nama Allah atau diam [Hadits riwayat Al Bukhari, lihat Fathul Bari : 11/ 530]

Dan dalam hadits Ibnu Umar yang lain :

“Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah maka dia telah berbuat syirik” (HR Imam Ahmad:2/ 125, lihat pula shahihil jami’:6204)

Dalam hadits lain Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“ barang siapa bersumpah demi amanat maka dia tidak termasuk golonganku” (HR abu Dawud :no: 3253 dan silsilah Ash Shahihah :94)

Karena itu tidak boleh sumpah demi Ka’bah, demi amanat, demi kemuliaan, dan demi pertolongan. Juga tidak boleh bersumpah dengan berkah atau hidup seseorang. Tidak pula dengan kemuliaan Nabi, para wali, nenek moyang, atau anak tertua. Semua hal tersebut adalah haram.

Barangsiapa terjerumus melakukan sumpah tersebut maka kaffaratnya (tebusannya) adalah membaca : laa Ilaaha Illallah sebagaimana tersebut dalam hadits shahih :

“barangsiapa bersumpah, kemudian dalam sumpahnya ia berkata: demi latta dan ‘uzza maka hendanya ia mengucapkan: Laa Ilaaha Illallaah” (HR Bukhari, fathul Bari :11/546)

Termasuk dalam bab ini adalah beberapa lafadz syirik dan lafadz yang diharamkan, yang biasa diucapkan oleh sebagian kaum muslimin. Di antaranya adalah : Aku berlindung kepada Allah dan kepadamu, saya bertawakkal kepada Allah dan kepadamu, ini adalah dari Allah dan darimu, tak ada yang lain bagiku selain Allah dan kamu, di langit cukup bagiku Allah dan di bumi cukup bagiku kamu, kalau bukan karena Allah dan fulan, saya terlepas diri dari Islam, wahai waktu yang sial, alam berkehendak lain, dan lain sebagainya.

[Yang benar hendaknya diucapkan dengan kata kemudian. Misalnya, saya berhasil karena Allah kemudian karena kamu. Dan dalam lafadz-lafadz yang lain. Syaikh Bin Baz]

[Demikian pula dengan setiap kalimat yang mengandumg pencelaan terhadap waktu seperti, ini zaman edan, ini saat yang penuh kesialan, zaman yang memperdaya, dll. Sebab pencelaan kepada masa akan kembali kepada Allah, karena Dialah yang menciptakan masa tersebut. Syaikh Bin Baz]

Termasuk dalam bab ini pula adalah menamakan seseorang dengan nama-nama yang dihambakan kepada selain Allah seperti Abdul Masih, Abdun Nabi, Abdur Rasul, Abdul Husain.

Di Antara istilah dan semboyan modern yang bertentangan dengan tauhid adalah :  Islam sosialis, demokrasi Islam, kehendak rakyat adalah kehendak Tuhan, agama untuk Allah dan tanah air untuk semua, atas nama arabisme, atau nama revolusi dsb.

Termasuk hal yang diharamkan adalah memberikan gelar raja diraja, hakim para hakim atau gelar sejenisnya kepada seseorang. Memanggil dengan nama sayyid (tuan) atau yang semakna kepada orang munafik atau kafir, dengan bahasa arab atau bahasa lainnya.

Termasuk di dalamnya menggunakan kata “andaikata” yang menunjukkan penyesalan dan kebencian sehingga membuka pintu bagi syaitan.

Termasuk juga yang dilarang adalah ucapan “Ya Allah ampunilah aku jika Engkau menghendaki” [Untuk pembahasan yang lebih luas, lihat mu’jamul manahi Al Lafdziyyah, syaikh Bakr Abu Zaid]

SYIRIK

Syirik atau menyekutukan Allah adalah sesuatu yang amat diharamkan dan secara mutlak ia merupakan dosa yang paling besar. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“Maukah aku kabarkan kepada kalian dosa yang paling besar (tiga kali) ? mereka menjawab : ya, wahai Rasulullah ! beliau bersabda : menyekutukan Allah“ (muttafaq ‘alaih, Al Bukhari hadits nomer : 2511)

Setiap dosa kemungkinan diampuni oleh Allah Subhanahu wata’ala, kecuali dosa syirik, ia memerlukan taubat secara khusus, Allah berfirman :

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya (An Nisa : 48)

Di antara macam syirik adalah syirik besar. Syirik ini menjadi penyebab keluarnya seseorang dari agama Islam, dan orang yang bersangkutan, jika meninggal dalam keadaan demikian, akan kekal di dalam neraka.

Di antara kenyataan syirik yang umum terjadi di sebagian besar negara-negara Islam adalah:

Menyembah Kuburan

Yakni kepercayaan bahwa para wali yang telah meninggal dunia bisa memenuhi hajat, serta bisa membebaskan manusia dari berbagai kesulitan. Karena kepercayaan ini. mereka lalu meminta pertolongan dan bantuan kepada para wali yang telah meninggal dunia, padahal Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia (Al Isra’ :23)

Termasuk dalam kategori menyembah kuburan adalah memohon kepada orang-orang yang telah meninggal, baik para nabi, orang-orang shaleh, atau lainnya untuk mendapatkan syafaat atau melepaskan diri dari berbagai kesukaran hidup. Padahal Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa  kepadaNya dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? (An Naml : 62)

Sebagian mereka, bahkan membiasakan dan mentradisikan menyebut nama syaikh atau wali tertentu, baik dalam keadaan berdiri, duduk, ketika melakukan sesuatu kesalahan, dalam setiap situasi sulit, ketika di timpa petaka, musibah atau kesukaran hidup.

Di antaranya ada yang menyeru : “ ahai Muhammad.” Ada lagi yang menyebut  :“Wahai Ali”. Yang lain lagi menyebut : “Wahai Jailani”. Kemudian ada yang menyebut : “Wahai Syadzali”. Dan yang lain menyebut : “Wahai Rifai. Yang lain lagi : “Al Idrus sayyidah Zainab, ada pula yang menyeru : “Ibnu ‘Ulwan dan masih banyak lagi. Padahal Allah telah menegaskan:

“Sesungguhnya orang-orang yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu” (Al A’raaf : 194)

Sebagian penyembah kuburan ada yang berthawaf (mengelilingi) kuburan tersebut, mencium setiap sudutnya, lalu mengusapkannya ke bagian-bagian tubuhnya. Mereka juga menciumi pintu kuburan tersebut dan melumuri wajahnya dengan tanah dan debu kuburan. Sebagian bahkan ada yang sujud ketika melihatnya, berdiri di depannya dengan penuh khusyu’, merendahkan dan menghinakan diri seraya mengajukan permintaan dan memohon hajat mereka. Ada yang meminta sembuh dari sakit, mendapatkan keturunan, digampangkan urusannya dan tak jarang di antara mereka yang menyeru : Ya sayyidi aku datang kepadamu dari negeri yang jauh maka janganlah engkau kecewakan aku. Padahal Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tidak dapat memperkenankan (do’anya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do’a mereka”. (Al Ahqaaf : 5)

Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Barang siapa mati dalam keadaan menyembah sesembahan selain Allah  niscaya akan masuk neraka (HR Bukhari, fathul bari : 8/176)

Sebagian mereka, mencukur rambutnya di pekuburan, sebagian lagi membawa buku  yang berjudul : Manasikul hajjil masyahid (tata cara ibadah haji di kuburan keramat). Yang mereka maksudkan dengan  masyahid adalah kuburan kuburan para wali. Sebagian mereka mempercayai bahwa para wali itu mempunyai kewenangan  mengatur alam semesta, dan mereka bisa memberi madharat dan manfaat. Padahal Allah Tabaroka wata’ala berfirman :

“Jika Allah menimpakan sesuatu kemadharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu maka tidak ada yang dapat menolak karuniaNya” (Yunus : 107)

Bernadzar Untuk Selain Allah

Termasuk syirik adalah bernadzar untuk selain Allah seperti yang dilakukan oleh sebagian orang yang bernadzar memberi lilin dan lampu untuk para ahli kubur.

Menyembelih Binatang Untuk Selain Allah

Termasuk syirik besar adalah menyembelih binatang untuk selain Allah.padahal Allah Tabaroka wata’ala berfirman :

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah” ( Al Kutsar : 2)

Maksudnya berkurbanlah hanya untuk Allah dan atas namaNya. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah” (HR Muslim, shahih Muslim No : 1978)

Pada binatang sembelihan itu terdapat dua hal yang diharamkan.

Pertama : penyembelihannya untuk selain Allah, dan kedua : penyembelihannya dengan atas nama selain Allah. Keduanya menjadikan daging binatang sembelihan itu tidak boleh dimakan. Dan termasuk penyembelihan jahiliyah -yang terkenal di zaman kita saat ini- adalah menyembelih untuk jin. Yaitu manakala mereka membeli rumah atau membangunnya, atau ketika menggali sumur mereka menyembelih di tempat tersebut atau di depan pintu gerbangnya sebagai sembelihan (sesajen) karena takut dari gangguan jin [lihat Taisirul Azizil Hamid, hal : 158]

Menghalalkan Apa Yang Diharamkan Oleh Allah Atau Sebaliknya

Di antara contoh syirik besar -dan hal ini umum dilakukan– adalah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah atau sebaliknya. Atau kepercayaan bahwa seseorang memiliki hak dalam masalah tersebut selain Allah Subhanahuwa ta’ala. Atau berhukum kepada perundang-undangan jahiliyah secara sukarela dan atas kemauannya. Seraya menghalalkannya dan kepercayaan bahwa hal itu dibolehkan . Allah menyebutkan kufur besar ini dalam firmanNya :

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah”. (At Taubah : 31)

Ketika Adi bin hatim mendengar ayat tersebut yang sedang dibaca oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam ia berkata : “ orang-orang itu tidak menyembah mereka. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dengan tegas bersabda : “Benar, tetapi meraka (orang-orang alim dan para rahib itu) menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah, sehingga mereka menganggapnya halal. Dan mengharamkan atas mereka apa yang dihalalkan oleh Allah, sehingga mereka menganggapnya sebagai barang haram, itulah bentuk ibadah mereka kepada orang-orang alim dan rahib [Hadits riwayat Al Baihaqi, As sunanul Kubra : 10/ 116, Sunan At Turmudzi no : 3095, Al Albani menggolongkannya dalam hadits hasan. lihat ghayatul muram: 19].

Allah menjelaskan, di antara sifat orang-orang musyrik adalah sebagaimana dalam firmanNya :

“Dan meraka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah)”. (At Taubah : 29).

“Katakanlah : Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah : Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan kedustaan atas Allah? (Yunus : 59).

Sihir, Perdukunan dan Ramalan

Temasuk syirik yang banyak terjadi adalah sihir, perdukunan dan ramalan. Adapun sihir, ia termasuk perbuatan kufur dan di antara tujuh dosa besar yang menyebabkan kebinasaan. Sihir hanya mendatangkan bahaya dan sama sekali tidak bermanfaat bagi manusia. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi madharat kepadanya dan tidak memberi manfaat (Al Baqarah : 102).  

“Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang” (Thaha : 69)

Orang yang mengajarkan sihir adalah kafir. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir) hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu kepada seseorangpun) sebelum mengatakan, “sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. (Al Baqarah : 102).

Hukuman bagi tukang sihir adalah dibunuh, pekerjaannya haram dan jahat. Orang-orang bodoh, sesat dan lemah iman pergi kepada para tukang sihir untuk berbuat jahat kepada orang lain atau untuk membalas dendam kepada mereka. Di antara manusia ada yang melakukan perbuatan haram, dengan mendatangi tukang sihir dan memohon pertolongan padanya agar terbebas dari pengaruh sihir yang menimpanya. Padahal seharusnya ia mengadu dan kembali kepada Allah, memohon kesembuhan dengan KalamNya, seperti dengan Mu’awwidzat (surat Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas) dan sebagainya.

Dukun dan tukang ramal itu memanfaatkan kelengahan orang-orang awam (yang minta pertolongan padanya) untuk mengeruk uang mereka sebanyak-banyaknya. Mereka menggunakan banyak sarana untuk perbuatannya tersebut. Di antaranya dengan membuat garis di pasir, memukul rumah siput, membaca (garis) telapak tangan,cangkir, bola kaca, cermin, dsb.

Jika sekali waktu mereka benar, maka sembilan puluh sembilan kalinya hanyalah dusta belaka. Tetapi tetap saja orang-orang dungu tidak mengingat, kecuali waktu yang sekali itu saja. Maka mereka pergi kepada para dukun dan tukang ramal untuk mengetahui nasib mereka di masa depan, apakah akan bahagia, atau sengsara, baik dalam soal pernikahan, perdagangan, mencari barang-barang yang hilang atau yang semisalnya.

Hukum orang yang mendatangi tukang ramal atau dukun, jika mempercayai terhadap apa yang dikatakannya adalah kafir, keluar dari agama Islam. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Barang siapa mendatangi dukun dan tukang ramal, lalu membenarkan apa yang dikatakannya, sungguh dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad”. (HR Ahmad: 2/ 429, dalam shahih jami’ hadits, no : 5939)

Adapun jika orang yang datang tersebut tidak mempercayai bahwa mereka mengetahui hal-hal ghaib, tetapi misalnya pergi untuk sekedar ingin tahu, coba-coba  atau sejenisnya, maka ia tidak tergolong orang kafir, tetapi shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Barang siapa mendatangi tukang ramal, lalu ia menanyakan padanya tentang sesuatu, maka tidak di terima shalatnya selama empat puluh malam” (Shahih Muslim : 4 / 1751).

Ini masih pula harus dibarengi dengan tetap mendirikan shalat (wajib) dan bertaubat atasnya.

Kepercayaan adanya pengaruh bintang dan planet terhadap berbagai kejadian dan kehidupan manusia.

Dari Zaid bin Khalid Al Juhani, Ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam shalat bersama kami, shalat subuh di Hudaibiyah – Di mana masih ada bekas hujan yang turun di malam harinya- setelah beranjak beliau menghadap para sahabatnya seraya berkata:
“Apakah kalian mengetahui apa yang difirmankan oleh Robb kalian? Mereka menjawab : “ Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui”. Allah berfirman : Pagi ini di antara hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang berkata: kami diberi hujan denagn karunia Allah dan rahmatNya maka dia beriman kepadaKu dan kafir terhadap bintang. Adapun orang yang berkata: (hujan ini turun) karena bintang ini dan bintang itu maka dia telah kufur kepadaKu dan beriman kepada bintang” (HR Al Bukhari, lihat Fathul Baari : 2/ 333).
Termasuk dalam hal ini adalah mempercayai Astrologi (ramalan bintang) seperti yang banyak kita temui di Koran dan majalah. Jika ia mempercayai adanya pengaruh bintang dan planet-planet tersebut maka dia telah musyrik. Jika ia membacanya sekedar untuk hiburan  maka ia telah melakukan perbuatan maksiat dan berdosa. Sebab tidak dibolehkan mencari hiburan dengan membaca hal-hal syirik. Di samping syaitan terkadang berhasil menggoda jiwa manusia sehingga ia percaya kepada hal-hal syirik tersebut, maka membacanya termasuk sarana dan jalan menuju kemusyrikan.
Termasuk syirik, mempercayai adanya manfaat pada sesuatu yang tidak dijadikan demikian oleh Allah Tabaroka wata’ala. Seperti kepercayaan sebagian orang terhadap jimat, mantera-mantera berbahu syirik, kalung dari tulang, gelang logam dan sebagainya, yang penggunaannya sesuai dengan perintah dukun, tukang sihir, atau memang merupakan kepercayaan turun menurun.

Mereka mengalungkan barang-barang tersebut di leher, atau pada anak-anak mereka untuk menolak ‘ain (pengaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang dengan pandangan matanya; kena mata). Demikian anggapan mereka. Terkadang mereka mengikatkan barang-barang tersebut pada badan, manggantungkannya di mobil atau rumah, atau mereka mengenakan cincin dengan berbagai macam batu permata, disertai kepercayaan tertentu, seperti untuk tolak bala’ atau untuk menghilangkannya.

Hal semacam ini, tak diragukan lagi sangat bertentangan dengan (perintah) tawakkal kepada Allah. Dan tidaklah hal itu menambah kepada manusia, selain kelemahan. Belum lagi ia termasuk berobat dengan sesuatu yang diharamkan.
Berbagai jimat yang digantungkan, sebagian besar dari padanya termasuk syirik jaly (yang nyata). Demikian pula dengan minta pertolongan kepada sebagian jin atau setan, gambar-gambar yang tak bermakna, tulisan-tulisan yang tak berarti dan sebagainya. Sebagian tukang tenung (sulap) menulis ayat-ayat Al Qur’an dan mencampur-adukkannya dengan hal lain yang termasuk syirik. Bahkan sebagian mereka menulis ayat-ayat Al Qur’an dengan barang yang najis atau dengan darah haid. Menggantungkan atau mengikatkan segala yang disebutkan di atas adalah haram. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi wasallam :

“Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka dia telah berbuat syirik [HR Imam Ahmad :4/ 156 dan dalam silsilah hadits shahihah hadits No : 492].
Orang yang melakukan perbuatan tersebut, jika ia mempercayai bahwa berbagai hal itu bisa mendatangkan manfaat atau madharat (dengan sendirinya) selain Allah maka dia telah masuk dalam golongan pelaku syirik besar. Dan jika ia mempercayai bahwa berbagai hal itu merupakan sebab bagi datangnya manfaat, padahal Allah tidak menjadikannya sebagai sebab, maka dia telah terjerumus pada perbutan syirik kecil, dan ini  masuk dalam kategori syirkul asbab.

Pagan Membagikan Telur Pada Hari Paskah

 Pada artikel yang lalu dalam rangka mengingatkan sahabat2 kita yang merayakan hari natal telah kami posting artikel mengenai Keterkaitan Paganisme Penyembahan Dewa Matahari dengan Vatikan dengan perayaan natal tersebut. Apakah yang dimaksud dengan natal ? Menurut kepercayaan umat Kristen pada tanggal 25 Desember adalah tanggal "kelahiran jesus".

Beberapa hari lalu tepatnya 25 Maret 2005 umat Kristen baru saja merayakan "wafatnya jesus" dikayu salib dan setelah tiga hari berselang 28 Maret 2005 merayakan "bangkitnya jesus" yang dikenal dengan hari raya Paskah atau Easter (Inggris).

Dari rangkaian peristiwa tsersebut, yang berujung pada kepercayaan bangkitnya jesus lalu ketiga peristiwa diatas ditambahkan dengan kata tuhan atau god sehingga lengkaplah cerita tersebut menjadi: kelahiran tuhan jesus - kematian tuhan jesus - kebangkitan tuhan jesus yang dirayakan setiap tahun oleh umat kristen sedunia.
Bersama ini kami kutipkan Sejarah asal usul Telur Paskah yang kami ambil dari situs Kristen dan artikel artikel dalam bahasa Inggris tentang keterkaitan dengan Paganisme Dewa 'Astarte' / 'Easter' / 'Ishtar' / 'Esther' semoga bermanfaat

Sejarah Membagikan Telur Pada Hari Paskah
"Mengapa gereja membagikan telur pada anak-anak Sekolah Minggu pada hari PASKAH?" Ternyata banyak orang Kristen bahkan guru Sekolah Minggu yang kurang jelas tentang sejarah membagi telur ini. Untuk Edisi Khusus PASKAH ini Tips Mengajar akan diganti dengan penjelasan singkat tentang sejarah membagi Telur PASKAH.
Tradisi membagi telur sebenarnya bukan tradisi gereja/Kristen (juga jelas tidak disebutkan dalam Alkitab). Sebelum kekristenan muncul, di negara 4 musim (Eropa) ada tradisi untuk merayakan datangnya musim-musim. Dewa musim Semi, yang bernama "Eostre" adalah dewa yang disembah pada perayaan "vernal equinox". Nama dewa ini juga yang akhirnya dipakai untuk menyebut hari PASKAH, "Easter" (bahasa Inggris).
Pada abad-abad pertama kekristenan, tradisi ini sulit dihapus karena hari PASKAH memang kebetulan jatuh pada setiap awal musim Semi. Perayaan musim Semi selalu dirayakan dengan meriah mengiringi kegembiraan meninggalkan musim dingin yang suram dan beku (mati). Tumbuh-tumbuhan dan bunga mulai tumbuh dan bermekaran, dan suasana keceriaan seperti ini menjadi saat yang tepat untuk membagi-bagikan hadiah. Membagi-bagikan telur pada hari PASKAH akhirnya diterima oleh gereja selain untuk merayakan datangnya musim Semi, juga karena telur memberikan gambaran/simbol akan adanya kehidupan.

SEJARAH TRINITAS

Pengalaman batin orang Kristen di zaman awal
Paham Trinitas berasal dari pengalaman batin orang Kristen pengikut Yesus di zaman awal akan perjumpaan dengan yang ilahi. Pada saat itu belum ada paham Trinitas sebagaimana dirumuskan belakangan. Pengalaman batin itu mendahului paham teologisnya. Para pengikut Yesus itu mengalami Keilahian dalam tiga bentuk atau modalitas:
(1) mengalami Keilahian sebagaimana mereka pahami dari kitab-kitab Yahudi (Perjanjian Lama): sebagai Pencipta, Tuhan dari sejarah penyelamatan, Bapa, dan Hakim;
(2) mengalami Keilahian di dalam diri Yesus, yang hidup di tengah manusia, sebagai "Yang Telah Bangkit Kembali";
(3) mengalami Keilahian sebagai Roh Kudus yang memberi kekuatan bagi hidup baru, kuasa bagi Kerajaan Allah, sebagaimana misalnya dialami oleh para murid pada peristiwa Pentakosta.

Sepanjang sejarah Kristen, masalah bagaimana mempertemukan pengalaman akan Keilahian dalam tiga bentuk/modalitas ini dengan prinsip keesaan Tuhan (monoteisme) telah menjadi bahan kajian dan perenungan yang sangat mendalam bagi orang Kristen yang saleh. Ini menjadi pendorong pula bagi berkembangnya suatu teologi spekulatif yang mengilhami metafisika Barat selama berabad-abad.

Namun, selama dua abad pertama Masehi, terdapat berbagai jawaban terhadap masalah ini yang berdiri berdampingan dan berhadap-hadapan. Pada mulanya para ahli teologi Kristen itu belum mengkajinya secara spekulatif.



Perbedaan paham seputar tokoh Yesus

Berbagai paham tentang Trinitas itu berpusat pada perbedaan paham tentang tokoh Yesus. Menurut Injil Yohanes, keilahian Yesus adalah titik awal untuk memahami pribadi dan karyanya. Yesus adalah keilahian yang telah ada sebelum ruang dan waktu ini tercipta, dan yang turun ke dunia (berinkarnasi) untuk menebus manusia yang berdosa.

Di lain pihak, Injil Markus tidak berangkat dari teologi inkarnasi, melainkan memahami baptisan Yesus di sungai Yordan sebagai pengangkatan manusia Yesus ke dalam kedudukan Putra Allah [Sonship of God], yang terjadidengan turunnya Roh Kudus dalam wujud burung merpati. Jadi sampai di sini sudah ada dua pendekatan yang berbeda.

Situasinya menjadi makin rumit ketika muncul konsep tentang pribadi ilahi kedua yang khas sebagaimana terlihat dalam diri Yesus; sedangkan Roh Kudus tidak dilihat sebagai tokoh berpribadi, melainkan sebagai kuasa/kekuatan, dan digambarkan hanya dalam wujud burung merpati atau lidah api. Dengan demikian, Roh Kudus untuk sebagian besar terdorong ke belakang di dalam kesadaran dan liturgi Kristen sehari-hari.



Masuknya tema-tema Neoplatonik

Di dalam Injil Yohanes terdapat petunjuk-petunjuk awal dari konsep Kristus sebagai Logos, "Sabda", yang sudah ada pada awal segala zaman. Di bawah pengaruh filsafat Neoplatonisme yang datang belakangan, tradisi ini menjadi sentral di dalam teologi spekulatif. Orang memikirkan bagaimana mempertemukan prinsip "keesaan Allah" dengan "triplisitas" (rangkap tiga) manifestasi keilahian. Masalah ini dijawab dengan menggunakan metafisika keberadaan [being] dari filsafat Neoplatonisme.

Menurut filsafat Neoplatonisme, Allah yang transenden, yang berada di atas segala keberadaan, di atas segala rasionalitas, dan di atas segala konseptualitas, berangsur-angsur melepaskan transendensi keilahiannya. Pada tindakan awal dari proses sadar-diri, Logos menyadari dirinya sebagai batin ilahi (Yunani: nous). (Bandingkan ini

dengan ta-ayyun awwal dari Ibn Arabi, dan alam wahdatiyah [#2] dari Mas Winarno.) Batin ilahi, yang juga disebut akal budi semesta yang bersifat ilahi, ini oleh filsuf Neoplatonik, Plotinus, dinamakan "Putra" yang muncul (datang) dari Bapa.

Langkah berikut dari proses Allah-transenden menjadi sadar-diri adalah munculnya alam ilahi [divine world] di dalam batin ilahi [nous], yakni ide tentang alam semesta dengan wujud-wujud individualnya sebagai isi kesadaran ilahi.

(Bandingkan ini dengan ta-ayyun tsani dari Ibn Arabi, dan alam wahidiyah [#3] dari Mas Winarno.)

Di dalam filsafat Neoplatonisme, baik nous maupun ide alam semesta disebut hipostasis (emanasi, pembabaran, pengejawantahan ke "bawah") dari Allah yang transenden. Teologi Kristen belakangan meminjam dari filsafat Neoplatonik ini-metafisika substansi serta doktrin hipostasis-sebagai titik tolak untuk memahami hubungan antara "Allah Bapa" dan "Allah Putra". Hubungan itu ditafsirkan menurut doktrin hipostasis Neoplatonik. Di sini juga terkandung tafsiran Kristologi spekulatif yang paralel dengan spekulasi Neoplatonik tentang Logos.



Kesulitan dengan Neoplatonisme

Kesulitan bagi orang Kristen dalam meminjam dari Neoplatonisme ialah karena dalam doktrin hipostatisasi tersirat adanya sesuatu yang "berkurang" dari Allah yang transenden ketika beremanasi menjadi Logos dan seterusnya ke bawah; ada sesuatu yang "melemah", yang inheren di dalam proses yang berlangsung secara hirarkis itu.

Derajat keilahian itu makin lama makin berkurang dengan makin mendekatnya keberadaan ilahi itu kepada materi. (Di dalam filsafat Neoplatonisme, materi di anggap sebagai bukan-keberadaan [nonbeing].)

Jadi, dengan mencangkokkan doktrin hipostasis Neoplatonik kepada tafsiran Kristiani tentang Trinitas, terdapat bahaya bahwa berbagai manifestasi Allah itu-sebagaimana dirasakan dalam pengalaman batin Kristen sebagai:

Bapa, Putra dan Roh Kudus-berubah menjadi hirarki tuhan-tuhan yang bertingkat-tingkat, menjadi politeisme.

Sekalipun bahaya ini dengan sadar dihindari, dan-berangkat dari Kristologi Logos-kesamaan esensi sepenuhnya dari ketiga manifestasi Allah itu ditekankan, ada bahaya lain yakni munculnya kembali triplisitas, yakni tuhan-tuhan yang setara, yang bertentangan dengan prinsip monoteisme murni.



Upaya merumuskan Trinitas: "kontroversi Arius"

Pada abad ke-3 M orang mulai sadar bahwa upaya memahami misteri Trinitas menurut teori hipostasis Neoplatonik tidak memuaskan dan malah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Puncak di mana kesulitan dasar itu mencuat secara teologis dan eklesiastik (kelembagaan gereja) ke permukaan secara mencolok adalah apa yang disebut "kontroversi Arius".

Arius termasuk aliran teologi Antiokhia, yang menekankan historisitas dari manusia Yesus. Dalam teologinya, Arius mempertahankan pemahaman formal tentang keesaan Allah, persis seperti ditekankan oleh doktrin Tauhid dalam Islam, dan deklarasi "Shema" dalam agama Yahudi.

Di dalam mempertahankan keesaan Allah itu, Arius terpaksa menyanggah kesamaan antara hakikat Putra dan Roh Kudus di satu pihak dengan hakikat Allah Bapa di lain pihak. Paham ini ditekankan oleh para pemikir dari aliran teologi Aleksandria yang dipengaruhi filsafat Neoplatonisme.

Dari sejak awal, kontroversi antara kedua kelompok ini bertumpu pada konsep metafisikal mengenai substansi dari Neoplatonisme-konsep itu sendiri asing bagi Perjanjian Baru-yakni pertanyaan: apakah esensi itu? Tidak heran bahwa kemudian kontroversi ini dirumuskan dalam slogan: "kesamaan esensi [dan oleh karena itu setara]" [homoousion]

vs. "kemiripan esensi [dan oleh karena itu, tak sama dan tak setara]" [homoiousion] di antara berbagai pribadi ilahi itu. (Orang-orang yang sinis-macam Gibbon- berkata bahwa orang Kristen menghabiskan waktu dan energi untuk berdebat tentang sebuah huruf hidup: "i" [iota] dalam "ou" vs. "iou". Dari sinilah asal ungkapan populer dalam bahasa
Inggris: "It makes not one iota of difference." :-) Tapi bagi penganut kental Kristen perbedaan satu huruf itu berarti sangat penting.)



Kristologi-malaikat
Bagian kedua dari empat tulisan


Ditulis oleh : DR. Hudoyo Hupudiyo, M.Ph
Posisi dasar dari Arius adalah menyanggah kesamaan esensi dari Putra (dan Roh Kudus) dengan esensi Allah Bapa, untuk mempertahankan keesaan Allah. Dengan demikian menurut Arius, Putra menjadi "Allah kedua, di bawah Allah Bapa [subordinated]"- artinya, ia adalah Allah dalam arti kiasan belaka, oleh karena dalam dikotomi Pencipta-Ciptaan, posisi Putra berada di pihak Ciptaan, sekalipun berada pada puncak Ciptaan (merupakan ciptaan tertinggi).

Di sini Arius bergabung dengan suatu tradisi Kristologi yang lebih tua, yang telah menyebar di Roma pada awal abad ke-2 M. Menurut tradisi yang disebut "Kristologi-malaikat" ini, turunnya Putra ke bumi dipahami sebagai turunnya pemimpin malaikat ke bumi, yang menjelma menjadi manusia Yesus; dia pernah pula diidentifikasikan dengan malaikat Mikail.

Dalam Kristologi-malaikat kuno ini telah ditampilkan tekad untuk mempertahankan keesaan Allah, yang membedakan iman Yahudi dan Kristiani dari iman-iman pagan di sekitarnya. Putra bukanlah Allah itu sendiri, melainkan sebagai yang tertinggi di antara makhluk-makhluk spiritual yang tercipta; dengan demikian dia ditempatkan sedekat mungkin dengan Allah.

Arius bergabung dengan tradisi kuno ini dengan tujuan yang sama: yakni mempertahankan prinsip monoteisme Kristiani terhadap segala tuduhan bahwa agama Kristen menampilkan suatu bentuk politeisme baru yang lebih halus.


Kalau Yesus ciptaan juga, bagaimana dia bisa menebus ciptaan? -- Athanasius

Tidak ayal lagi, upaya yang dipelopori Arius untuk mempertahankan keesaan Allah membawa orang Kristen kepada suatu dilema: kalau di dalam dikotomi Pencipta-Ciptaan, Yesus berada di pihak Ciptaan, padahal Ciptaan itu memerlukan penebusan, bagaimana Yesus bisa menebus dunia? Jadi, secara keseluruhan Gereja Kristen menolak upaya formal untuk mempertahankan keesaan Allah yang dipelopori Arius itu sebagai serangan terhadap realitas penebusan.

Juru bicara utama dari pihak ortodoksi gereja adalah Athanasius dari Aleksandria. Bagi dia, titik tolaknya bukanlah suatu prinsip filosofis-spekulatif, melainkan realitas penebusan, kepastian keselamatan. Menurut dia, penebusan umat manusia dari dosa dan maut hanya bisa dijamin jika Yesus adalah Allah sepenuhnya dan sekaligus manusia sepenuhnya, jika esensi Allah meresapi manusia sampai lapisan terdalam dari sumsum tulangnya.

Hanya apabila Allah dalam makna esensi ilahi sepenuhnya menjadi manusia di dalam Yesus maka dapat dijamin pengilahian [deification] manusia dalam makna penaklukan dosa dan maut sebagai kebangkitan daging kembali.



Konsili Nikea (325 M)

Pada konsili Nikea, 20 Mei 35 M, tidak banyak uskup menganut pandangan Athanasius ini. Kebanyakan mengambil sikap di tengah-tengah antara Athanasius dan Arius. Namun dengan dukungan Kaisar Konstantin dan rekayasa Athanasius-mungkin persis sama seperti sidang-sidang umum MPR di zaman Orba-akhirnya Athanasius menang. Hanya Arius bersama dua uskup temannya menolak menandatangani Kredo Nikea.



Kredo Nikea ini berbunyi:

"Kami percaya akan satu Allah,
Bapa yang Mahakuasa,
pencipta segala sesuatu, yang tampak dan tak tampak,
dan pada satu Tuhan, Yesus Kristus,
Putra Allah,
tunggal dilahirkan dari Bapa,
yakni, dari zat [ousia] Bapa,
Allah dari Allah,
cahaya dari cahaya,
Allah sejati dari Allah sejati,
dilahirkan bukan diciptakan,
mempunyai zat sama [homoousion] dengan Bapa,
melalui dia segala sesuatu diciptakan,
segala sesuatu yang ada di surga dan
segala sesuatu yang ada di bumi,
yang demi kita manusia dan demi penyelamatan kita,
turun [ke dunia] dan menjadi manusia,
menderita,
bangkit kembali pada hari ketiga,
naik ke surga,
dan akan datang
mengadili orang yang hidup dan yang mati.
Dan kami percaya akan Roh Kudus."

Sehabis konsili Nikea, bukan berarti kontroversi itu pun berakhir. Kontroversi Arius ini berlangsung selama 60 tahun lagi. Arius dkk berjuang terus dan berhasil mempengaruhi Kaisar yang memerintah. Akibatnya, Athanasius sempat diasingkan sampai lima kali. Demikianlah, kaisar demi kaisar silih berganti, yang satu mendukung Arianisme, dan yang lain mendukung Kredo Nikea. Persis seperti persaingan antara Buddhisme yang "asing" vs. Konfusianisme yang "asli" di Tiongkok di zaman kuno.

Paham Athanasius pada waktu itu sukar diterima. Terutama konsep "homoousion" ["berzat sama"] yang dikenakan terhadap Bapa dan Putra mengandung nuansa materialistik; seperti orang mengatakan bahwa dua mata uang "berzat sama". (Apakah Allah mempunyai zat seperti mata uang mempunyai zat?) Selain itu istilah itu tidak terdapat dalam Alkitab. Juga tidak dijelaskan bagaimana bisa Allah Putra "berzat sama" dengan Allah Bapa tanpa menjadi "Tuhan kedua". Kredo Nikea seperti apa adanya dapat dituduh sebagai triteisme (tiga Tuhan).

Namun baik kubu Athanasius maupun kubu Arius sependapat akan datangnya sesuatu yang baru yang dibawa oleh Yesus ke dunia. Mereka mencoba menjelaskan pengalaman ini di dalam kerangka simbol-simbol yang mereka pahami. Dan penjelasan itu menjadi kredo (rumusan iman). Pengalamannya sama, tapi kredonya bertentangan, di antara Arius dan Athanasius. Tetapi pengalaman keilahian itu sendiri sebenarnya tak dapat diutarakan dengan kata-kata [ineffable]. Sifat pengalaman transendental itulah yang menyebabkan timbulnya penjelasan iman dari berbagai sudut pandang, yang bisa bertentangan satu sama lain.

Sayangnya, di dunia Kristen perlahan-lahan berkembang ketidaktoleranan di bidang dogmatik. Orang harus mengikuti rumusan-rumusan (simbol-simbol) yang dianggap "benar" dan mengikat. Obsesi doktrinal, yang khas dalam agama Kristen ini, dapat dengan mudah mengacaukan simbol-simbol manusiawi dengan realitas ilahi. Inilah yang menyebabkan mudah pecahnya agama Kristen menjadi begitu banyak gereja, yang bersifat eksklusif satu terhadap yang lain.





Rumusan Trinitas yang final
Bagian ketiga dari empat tulisan

Rumusan Trinitas yang final adalah apa yang dikenal sebagai Kredo Athanasius (sekitar th 500 M) --yang sebetulnya bukan ditulis oleh Athanasius, karena dia wafat th. 373 M. Kredo itu pada dasarnya menekankan:

"una substantia-tres personae" ("satu zat, tiga pribadi"). Rumusan ini diterima sebagai akidah resmi Gereja Katolik dan beberapa Gereja Protestan.

Secara praktis rumusan ini merupakan suatu kompromi, yang di satu pihak berpegang teguh pada kedua landasan iman Kristen (keesaan Allah dan pengungkapan-diri Ilahi di dalam Bapa, Putra dan Roh Kudus), dan di lain pihak tidak merasionalisasikan misteri itu sendiri. Pada akhirnya, sudut pandang yang dianut tetap definitif, dalam arti bahwa realitas penyelamatan dan penebusan tetap dipertahankan dan tidak dikorbankan demi kepentingan monoteisme rasional.

Pada awal dan akhir naskah Kredo Athanasius ini terdapat peringatan keras:

bahwa barangsiapa menyeleweng dari akidah ini tidak akan terselamatkan. Kerasnya peringatan ini menyebabkan beberapa ahli teologi, terutama dari Gereja Anglikan, menuntut akidah ini dibatasi atau ditinggalkan.

Ini adalah contoh ketidaktoleranan Gereja Kristen Barat terhadap sesama Kristen yang menganut rumusan akidah berbeda. Ini disebabkan Gereja Kristen Barat lebih menekankan kerigma (yang filosofis) daripada dogma (yang kontemplatif). (Lihat bawah) Itulah pula sebabnya kelak Inkuisisi serta pengejaran dan penindasan kelompok-kelompok yang berbeda akidah merupakan ciri khas Gereja Barat dan tidak terjadi di Gereja Timur.



Para Bapa Kapadosia

Secara rasional, orang Kristen dihadapkan kepada pertanyaan abadi: Kalau hanya ada satu Allah, bagaimana Logos bisa ilahi? Terhadap pertanyaan ini, para Bapa Kapadosia (abad ke-4 M) memberikan jawaban, yang akhirnya bisa memuaskan Gereja Ortodoks Timur. Tetapi jawaban itu berasal bukan dari pendekatan filosofis, melainkan dari pendekatan kontemplatif.

Yang disebut para Bapa Kapadosia terdiri dari tiga tokoh: (1) Basilius, Uskup Kaesarea; (2) adiknya Gregorius, Uskup Nyssa; (3) sahabatnya, Gregorius dari Nazianzus. Mereka menyenangi filsafat dan spekulasi di satu pihak, namun di lain pihak mereka juga orang-orang yang saleh. Mereka yakin bahwa hanya pengalaman batiniah sajalah yang dapat memberikan kunci untuk memahami Allah.

Mereka mengenal Plato, yang membedakan antara filsafat (yang rasional) dan mitologi (yang nonrasional) -- kedua-duanya dapat memberikan pengetahuan yang sama pentingnya. Mereka juga mengenal Aristoteles, yang menyatakan bahwa orang memeluk agama-agama misteri bukan untuk belajar [mathein], melainkan untuk mengalami [pathein].

Basilius mengungkapkan sudut pandang yang sama dalam kerangka Kristiani, yakni dengan membedakan antara kerygma dan dogma. Kedua ajaran Kristen itu sama pentingnya. Mnurut Basilius, kerygma adalah ajaran gereja yang terbuka untuk umum, berdasarkan Alkitab. Sedangkan dogma mengandung kebenaran Alkitabiah yang lebih dalam, yang hanya dapat dipahami melalui pengalaman batiniah dan diungkapkan dalam wujud-wujud simbolik.

Di samping pesan yang gamblang dari Injil, terdapat suatu tradisi esoterik yang rahasia, yang diwariskan "sebagai misteri" dari para rasul; ini adalah "ajaran privat dan rahasia" ...

"... yang dipelihara oleh para bapa suci di dalam keheningan yang mencegah kecemasan dan keingintahuan .... untuk dengan keheningan itu menjaga kesucian dari misteri ini. Mereka yang belum diinisiasi tidak diperbolehkan melihat hal-hal ini: maknanya tidak boleh diungkapkan dalam tulisan." [Basilius, On the Holy Spirit]



Perbedaan Kristen Barat dan Kristen TImur dalam melihat Trinitas

Gereja Kristen Barat (Latin) kelak akan menjadi agama yang banyak berfilsafat dan berargumentasi; akibatnya, perdebatan mengenai hakikat keilahian akan sering mencuat di Barat. Sebaliknya, di dalam Gereja Kristen Timur (Ortodoks Yunani), teologi yang baik adalah teologi yang bersikap apofatik (berdiam diri dalam kontemplasi).

Seperti dikatakan oleh Gregorius dari Nyssa, "setiap konsep tentang Allah hanyalah sekadar gambaran, kemiripan yang tidak tepat, suatu berhala: ia tidak dapat mengungkapkan Allah itu sendiri." Gregorius menekankan bahwa "... penglihatan dan pengetahuan yang sejati akan apa yang kita cari justru terletak di dalam tidak melihat, di dalam kesadaran bahwa tujuan kita mengatasi segala pengetahuan, yang di semua sisi dibatasi oleh dinding kegelapan dari kemustahilan-pemahaman [incomprehensibility]."

Kita tidak dapat "melihat" Allah secara intelektual, tetapi apabila kita membiarkan diri kita diliputi "awan yang turun di gunung Sinai", kita akan merasakan kehadirannya. Basilius kembali kepada pembedaan yang dibuat oleh Philo antara esensi Allah (ousia) dan kegiatan-Nya (energeiai) di alam semesta: "Kami mengenal Allah kami hanya dari kegiatan-Nya, tetapi kami tidak berupaya mendekati esensinya." Inilah yang akan menjadi pendekatan kunci di dalam seluruh teologi Gereja Timur di kemudian hari.

Para Bapa Kapadosia juga menaruh perhatian terhadap konsep Roh Kudus. Mereka merasa konsep ini hanya disinggung sepintas lalu saja dalam Konsili Nikea: rumusan "Dan kami percaya akan Roh Kudus" dalam Kredo Nikea terasa hanya sebagai embel-embel yang ditambahkan belakangan. Siapakah Roh Kudus itu? Sekadar nama lain dari Allah, atau ada sesuatu yang lain?

Gregorius dari Nazianzus mencatat bahwa "Ada orang melihat Roh Kudus sebagai kuasa [kegiatan], ada yang melihatnya sebagai makhluk, ada yang melihatnya sebagai Allah, sedangkan yang lain tidak bisa mengambil keputusan." Santo Paulus berbicara tentang Roh Kudus yang membaharui, menciptakan dan dan memuaskan; padahal kegiatan ini hanya dapat dilakukan oleh Allah. Oleh karena itu, Roh Kudus yang di dalam diri kita disebut sebagai penyelamat kita, haruslah bersifat ilahi, bukan sekadar makhluk. Para Bapa Kapadosia meminjam ungkapan yang digunakan Athanasius dalam menghadapi Arius: "Allah memiliki satu esensi (ousia) --yang tidak dapat kita kenali-dan tiga pengejawantahan (hypostases) --yang membuatnya dikenal."

Alih-alih berdebat tentang esensi (ousia) Allah (yang tidak mungkin diketahui), para Bapa Kapadosia berangkat dari pengalaman manusia tentang pengejawantahan (hypostases) Allah. Ousia (esensi) adalah hakikat sesuatu di dalam dirinya (bagi Allah, ini tidak mungkin diketahui manusia); sedangkan hypostases (pengejawantahan) adalah gambaran tentang sesuatu dilihat dari luar dirinya (bagi Allah, inilah yang dialami manusia).

Gereja Ortodoks Timur: Trinitas bukanlah Allah itu sendiri, melainkan hypostases Allah

Yang penting adalah, menurut Gregorius dari Nyssa, bahwa hypostases (pengejawantahan) Bapa, Putra dan Roh Kudus itu tidak boleh dipandang atau diidentifikasikan sebagai Allah itu sendiri, oleh karena "... esensi (ousia) Keilahian tidak terkatakan dan tidak dapat diberi nama." Maka "Bapa", "Putra", dan "Roh Kudus" hanyalah sekadar "istilah-istilah yang kita gunakan" untuk menyebut energeiai (aktivitas) yang dengan itu Allah (yang tersembunyi) memperlihatkan Diri-Nya.

Namun, istilah-istilah ini juga mempunyai makna simbolik, karena menerjemahkan realitas yang tidak terbayangkan menjadi gambar-gambar yang dapat kita tangkap. Manusia mengalami Allah sebagai transenden (Bapa, yang tersembunyi di dalam awan yang tak terjangkau), sebagai kreatif (Logos), dan sebagai imanen (Roh Kudus).

---Menyikapi Trinitas
Bagian terakhir dari tulisan


Ditulis oleh : DR. Hudoyo Hupudiyo, M.Ph
Bagi Gereja Ortodoks Timur, Trinitas hanya dapat dipahami sebagai pengalaman spiritual atau mistikal; Trinitas harus dialami, bukan dipikirkan, karena Allah melampaui segala konsep manusiawi. Trinitas bukanlah rumusan logis atau intelektual, melainkan paradigma imajinatif yang membingungkan akal budi.

Bagi orang Kristen di Timur, kontemplasi terhadap Trinitas tetap memberikan pengalaman spiritual yang mengangkat; sedangkan bagi orang Kristen di Barat, Trinitas menimbulkan perdebatan. Perbedaan sikap antara Barat dan Timur ini tampak pula dalam memahami istilah theoria. Bagi orang Kristen Timur, theoria berarti kontemplasi (penghayatan); sedangkan bagi orang Kristen Barat, theoria (teori) berarti hipotesis rasional yang harus dibuktikan secara logikal. Mengembangkan "teori" tentang Allah menyiratkan bahwa Dia dapat ditangkap oleh pemikiran manusia.

Orang Kristen Timur menekankan aspek dogmatik dari Trinitas (yang hanya dapat dipahami secara intuitif); sedangkan orang Kristen Barat menekankan aspek kerigmatik dari Trinitas, yang menimbulkan argumentasi, kontroversi dan paradoks-paradoks.

Trinitas sebagai paradigma imajinatif sebenarnya dikembangkan untuk mencegah pendekatan yang terlalu rasionalistik terhadap Tuhan sebagaimana ditampilkan oleh Arius. Doktrin Inkarnasi sebagaimana tampil di Nikea, mengandung bahaya idolatri yang simplistik: Tuhan dipahami mempunyai sifat dan kegiatan tidak ubahnya sebagai manusia: berpikir, bertindak, membuat rencana sebagai manusia. Dari situ, manusia akan mengenakan pikiran-pikirannya sendiri (yang eksklusif) pada Tuhan sehingga menjadi absolut. Inilah akar dari sikap-sikap eksklusivistik dalam agama.

Ketika pada abad ke-18 M pemikiran rasional mulai membudaya di dunia, orang Kristen Barat mencoba merasionalkan Tuhan pula. Ini yang menyebabkan munculnya pernyataan "Tuhan telah mati" di Barat. Sedangkan orang Kristen Timur tetap melihat Trinitas bukan sebagai pernyataan faktual, melainkan sebagai pernyataan puitik atau sebagai tarian teologis antara apa yang dipercaya manusia dengan kesadaran bahwa kepercayaan kerigmatik seperti itu hanya bersifat sementara [sampai diperoleh pengalaman spiritual yang membenarkannya].




Masa-masa sesudahnya: periode rasionalistik

Perkembangan khas pada masa-masa selanjutnya di dunia Kristen, ketika filsafat rasionalistik mulai membudaya, dan aspek penyelamatan dari Trinitas mulai terdesak ke belakang, aliran-aliran anti-Trinitas pun muncul kembali. Banyak yang dengan sadar menganut pandangan Arius yang rasional: misalnya, kaum humanis Pencerahan pada abad ke-16 M, dan kaum anti-Trinitas pada masa Renaisans Italia.

Dalam gerakan yang disebut Protestan (Reformasi) radikal, terjadi pergeseran peran Yesus dari Penebus menjadi lebih bersifat profetik dan merupakan pemimpin dan teladan utama bagi orang beriman. Yesus adalah tokoh yang mengutuk kaum agama dan politikus yang mapan, mengecam kaum kaya; begitu pula seharusnya diteladani oleh orang beriman. Munculnya sekte Anabaptis yang dikejar-kejar oleh pimpinan Gereja Katolik dan Gereja Protestan lain; kisah Michael Servetus yang dihukum mati oleh "Inkuisisi" Protestan, merupakan contoh dari paradigma persekusi yang diterima dengan tabah oleh para tokoh gerakan Reformasi radikal ini. Mereka meneladani Yesus yang juga dikejar-kejar dan mati di kayu salib.

Gerakan radikal pada abad ke-16 M ini kelak mengambil bentuk sebagai aliran Unitarianisme. Aliran ini berpendapat bahwa doktrin Trinitas adalah penyimpangan dari Alkitab, dan bahwa monoteisme sederhana dapat dipertahankan apabila Kristus tidak dilihat sebagi pengejawantahan penuh dari Allah.

Ada suatu hubungan langsung antara paham anti-Trinitas dengan penelitian kehidupan Yesus pada abad ke-18 M. Pelopor penelitian ini ialah Hermann Reimarus dan Karl Bahrdt, yang menggambarkan Yesus sebagai agen suatu tarekat pencerahan yang tertutup (kaum Essene), yang bertujuan untuk menyebarluaskan agama akal budi di dunia. Kedua peneliti itu juga bersikap anti-Trinitas dan memelopori gerakan kritik rasionalistik yang radikal terhadap dogma-dogma gereja.

Ilmuwan terkemuka, Sir Isaac Newton (abad ke-17 M), mempunyai minat pada agama dan teologi. Pada awal th 1690-an, ia mengirimkan kepada sahabatnya, John Locke, satu kopi tulisannya yang mencoba membuktikan bahwa ayat-ayat yang menyiratkan Trinitas di dalam Perjanjian Baru adalah tambahan belakangan yang disisipkan oleh kubu Athanasius. Ketika John Locke berniat menerbitkan karya itu, Newton segera menariknya kembali, karena takut pandangannya yang anti-Trinitas diketahui umum.

Kritik Immanuel Kant (abad ke-18 M) terhadap "bukti-bukti" adanya Tuhan menyebabkan merosotnya doktrin Trinitas lebih jauh. Di dalam filsafat Idealisme Jerman, Hegel, dalam upaya mengangkat dogma Kristen ke dalam lingkup konseptual, mengambil doktrin Trinitas sebagai landasan bagi sistem filsafatnya serta tafsirannya terhadap sejarah sebagai proses pengejawantahan roh mutlak menjadi sadar-diri.

Pada masa yang lebih mutakhir, aliran teologi dialektis di Eropa dan Amerika Serikat cenderung mereduksikan doktrin Trinitas dan menggantikannya dengan monokristisme. Monokristisme adalah kecenderungan dalam praktek iman Kristen sehari-hari, ketika tokoh Putra mendesak tokoh Bapa ke belakang, ketika tokoh Pencipta dan Pemelihara alam semesta dikesampingkan oleh tokoh Penebus. Gejala ini terlihat pada kehidupan liturgis sehari-hari. Terdapat tarik-menarik antara teologi Kristen (Trinitas) dan kesalehan Kristen (dengan titik berat pada Yesus Kristus).

Suatu bentuk monokristisme yang radikal adalah Gerakan "Jesus Only", yang muncul di dalam Gereja Pentakosta. Gerakan ini menyatakan bahwa baptisan yang benar adalah "Atas nama Yesus" semata, bukan atas nama Trinitas. Gerakan yang mulai pada th 1913 di Kalifornia ini menolak doktrin Trinitas tradisional, dan hanya mengakui pribadi Yesus satu-satunya sebagai Allah. Gerakan ini menyebabkan pecahnya aliran Pentakosta menjadi beberapa gereja.

Pada suatu peristiwa yang singkat tapi dipublikasikan secara luas pada pertengahan tahun 1960-an, sejumlah ahli teologi Protestan terkemuka yang terlibat dalam kritik budaya mengamati dan menyatakan bahwa "Tuhan telah mati". Teologi "matinya Tuhan" mengesampingkan segala paham tentang transendensi ilahi, dan meletakkan seluruh sifat Kekristenan pada manusia Yesus dari Nazareth. Dogma Kristen ditafsirkan ulang, dan direduksikan menjadi sekadar sosialitas dan kemerdekaan manusiawi. Tak lama kemudian, mayoritas ahli teologi menanggapi aliran kecil ini dengan menampilkan kembali dogma Kristen klasik, yang menekankan perjumpaan dengan transendensi ilahi dalam setiap wacana tentang Yesus Kristus.



Penemuan kembali transendensi ilahi

Pada zaman pasca-modernisme sekarang ini, transendensi ilahi telah ditemukan kembali"setidak-tidaknya diindikasikan"oleh sains dan sosiologi. Teologi pada dasawarsa penutup abad ke-20 M ini berupaya mengatasi tafsiran yang bersifat antropologis semata tentang agama, dan sekali lagi menemukan secara baru landasan transendensinya. Konsekuensinya, teologi dihadapkan pada masalah Trinitas dalam bentuk baru, yang menurut pengalaman Kristiani akan Allah sebagai kehadiran Bapa, Putra dan Roh Kudus tidak dapat dihilangkan. Pemahaman baru akan Trinitas ini ditandai dengan pergeseran dari pendekatan filosofis-metafisikal kepada pendekatan kontemplatif. Juga dipengaruhi oleh perjumpaan dengan paham-paham lain yang non-Kristiani tentang inkarnasi dan emanasi transenden, dalam rangka dialog antariman.

[Disarikan dan dirangkum dari Encyclopaedia Britannica dan "A History of God" (Karen Armstrong).]

Uraian tentang sejarah pemahaman dan penyikapan terhadap konsep Trinitas di atas menggarisbawahi bahwa semua sudut pandang tersebut -baik yang pro maupun yang kontra, baik yang "resmi" maupun yang tidak- adalah upaya manusia untuk menyelami hal-ihwal keilahian. Upaya ini pada garis besarnya menggunakan dua pendekatan: di satu pihak, pendekatan filosofis-intelektual, dan di lain pihak, pendekatan kontemplatif-meditatif.

Rekan-rekan yang menganut salah satu paham Trinitas tertentu sebagai rumusan imannya, mungkin ada yang memahami rumusannya sebagai "terilhami oleh Roh Kudus". Hal ini dapat dipahami sepenuhnya. Namun, karena saya pribadi berangkat dari sikap sekuler yang netral terhadap berbagai akidah yang ada, maka saya melihat berbagai paham Trinitas itu tidak ada yang lebih "benar" atau lebih "salah" yang satu terhadap yang lain.

Bersimpati dengan pendekatan Gereja Ortodoks Timur, saya berpendapat bahwa paham Trinitas adalah simbol-simbol yang mengacu kepada suatu realitas transenden yang berada di baliknya, yang pada dasarnya tidak terbayangkan dan tidak terkatakan oleh otak manusia. Realitas itu hanya dapat didekati dan dialami di dalam kontemplasi-meditatif, bukan dengan pemikiran diskursif-filosofis. Realitas itu tercermin pula di dalam banyak simbol-simbol lain yang non-Kristiani.

PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ATAS PERINTAH TUHAN DALAM ALKITAB KRISTEN

Bunuhlah pengikut agama lain
6 Apabila saudaramu laki-laki, anak ibumu, atau anakmu laki-laki atau anakmu perempuan atau isterimu sendiri atau sahabat karibmu membujuk engkau diam-diam, katanya: Mari kita berbakti kepada allah lain yang tidak dikenal olehmu ataupun oleh nenek moyangmu,

7 salah satu allah bangsa-bangsa sekelilingmu, baik yang dekat kepadamu maupun yang jauh dari padamu, dari ujung bumi ke ujung bumi,

8 maka janganlah engkau mengalah kepadanya dan janganlah mendengarkan dia. Janganlah engkau merasa sayang kepadanya, janganlah mengasihani dia dan janganlah menutupi salahnya,

9 tetapi bunuhlah dia! Pertama-tama tanganmu sendirilah yang bergerak untuk membunuh dia, kemudian seluruh rakyat.

10 Engkau harus melempari dia dengan batu, sehingga mati, karena ia telah berikhtiar menyesatkan engkau dari pada TUHAN, Allahmu, yang telah membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan.

11 Maka seluruh orang Israel akan mendengar dan menjadi takut, sehingga mereka tidak akan melakukan lagi perbuatan jahat seperti itu di tengah-tengahmu.

(Ulangan 13:7-12)

2) 2 "Apabila di tengah-tengahmu di salah satu tempatmu yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, ada terdapat seorang laki-laki atau perempuan yang melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, Allahmu, dengan melangkahi perjanjian-Nya,

3 dan yang pergi beribadah kepada allah lain dan sujud menyembah kepadanya, atau kepada matahari atau bulan atau segenap tentara langit, hal yang telah Kularang itu;

4 dan apabila hal itu diberitahukan atau terdengar kepadamu, maka engkau harus memeriksanya baik-baik.

Jikalau ternyata benar dan sudah pasti, bahwa kekejian itu dilakukan di antara orang Israel,

5 maka engkau harus membawa laki-laki atau perempuan yang telah melakukan perbuatan jahat itu ke luar ke pintu gerbang, kemudian laki-laki atau perempuan itu harus kaulempari dengan batu sampai mati.

(Ulangan 17:2-5)

Bunuhlah istrimu di malam pengantin jika dia tidak perawan
20 Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati tanda-tanda keperawanan pada si gadis pada malam pernikahan,

21 maka haruslah si gadis dibawa ke luar ke depan pintu rumah ayahnya, dan orang-orang sekotanya haruslah melempari dia dengan batu, sehingga mati--sebab dia telah menodai orang Israel dengan bersundal di rumah ayahnya. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.

(Ulangan 22:20-21)

Bunuhlah manusia yang tidak mendengarkan perkataan imam
Orang yang berlaku terlalu berani dengan tidak mendengarkan perkataan imam yang berdiri di sana sebagai pelayan TUHAN, Allahmu, ataupun perkataan hakim, maka orang itu harus mati. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel.. (Ulangan 17:12 )

Bunuhlah paranormal
Seorang ahli sihir perempuan janganlah engkau biarkan hidup. (Keluaran 22:18)

Bunuhlah para Waria
Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri. (Imamat 20:13 )

Bunuhlah para peramal
27 Apabila seorang laki-laki atau perempuan dirasuk arwah atau roh peramal, pastilah mereka dihukum mati, yakni mereka harus dilontari dengan batu dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri." (Imamat 20:27 )

Bunuhlah anak yang memukul ortunya.
Siapa yang memukul ayahnya atau ibunya, pastilah ia dihukum mati.. (Keluaran 21:15)

Hukuman mati untuk menyumpahi ortu
1) Siapa mengutuki ayah atau ibunya, pelitanya akan padam pada waktu gelap.. (Amsal 20:20)

2) Apabila ada seseorang yang mengutuki ayahnya atau ibunya, pastilah ia dihukum mati; ia telah mengutuki ayahnya atau ibunya, maka darahnya tertimpa kepadanya sendiri.. (Imamat 20:9)

Bunuhlah manusia yang main serong
Bila seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu.. (Imamat 20:10)

Pembakaran anak gadis wanita yang ngeseks sebelum nikah
Apabila anak perempuan seorang imam membiarkan kehormatannya dilanggar dengan bersundal, maka ia melanggar kekudusan ayahnya, dan ia harus dibakar dengan api.. (Imamat 21:9)

Bantailah manusia yang beragama lain
Siapa yang mempersembahkan korban kepada allah kecuali kepada TUHAN sendiri, haruslah ia ditumpas."

(Keluaran 22:20)

Bantailah yang tidak percaya tuhan
Setiap orang, baik anak-anak atau orang dewasa, baik laki-laki atau perempuan, yang tidak mencari TUHAN, Allah Israel, harus dihukum mati.. (2 Tawarikh 15:12-13)

Bunuhlah anakmu jika dia mengaku sebagai nabi
Dan apabila seseorang masih tampil sebagai nabi, maka ayahnya dan ibunya, yang telah memperanakkan dia, akan berkata kepadanya: Janganlah engkau hidup lagi, sebab yang kaukatakan demi nama TUHAN itu adalah dusta! Lalu ayahnya dan ibunya, yang telah memperanakkan dia, akan menikam dia pada waktu ia bernubuat..

(Zakharia 13:3)

Bunuhlah seluruh isi kota jika ditemukan 1 orang saja yang beragama lain
Ada orang-orang dursila tampil dari tengah-tengahmu, yang telah menyesatkan penduduk kota mereka dengan berkata: Mari kita berbakti kepada allah lain yang tidak kamu kenal,

14 maka haruslah engkau memeriksa, menyelidiki dan menanyakan baik-baik. Jikalau ternyata benar dan sudah pasti, bahwa kekejian itu dilakukan di tengah-tengahmu,

15 maka bunuhlah dengan mata pedang penduduk kota itu, dan tumpaslah dengan mata pedang kota itu serta segala isinya dan hewannya.

16 Seluruh jarahan harus kaukumpulkan di tengah-tengah lapangan dan harus kaubakar habis kota dengan seluruh jarahan itu sebagai korban bakaran yang lengkap bagi TUHAN, Allahmu. Semuanya itu akan tetap menjadi timbunan puing untuk selamanya dan tidak akan dibangun kembali.

17 Dari barang-barang yang dikhususkan itu janganlah apapun melekat pada tanganmu, supaya TUHAN berhenti dari murka-Nya yang bernyala-nyala itu, menunjukkan belas kasihan-Nya kepadamu, mengasihani engkau dan membuat jumlahmu banyak, seperti yang dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu.

18 Sebab dengan demikian engkau mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, untuk berpegang pada segala perintah-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, dengan melakukan apa yang benar di mata TUHAN, Allahmu."

(Ulangan 13:13-18)


Bunuhlah siapapu yang menjelekan nama tuhan mu
Pada suatu hari datanglah seorang laki-laki, ibunya seorang Israel sedang ayahnya seorang Mesir, di tengah-tengah perkemahan orang Israel; dan orang itu berkelahi dengan seorang Israel di perkemahan.

11 Anak perempuan Israel itu menghujat nama TUHAN dengan mengutuk, lalu dibawalah ia kepada Musa. Nama ibunya ialah Selomit binti Dibri dari suku Dan.

12 Ia dimasukkan dalam tahanan untuk menantikan keputusan sesuai dengan firman TUHAN.

13 Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Musa:

14 "Bawalah orang yang mengutuk itu ke luar perkemahan dan semua orang yang mendengar haruslah meletakkan tangannya ke atas kepala orang itu, sesudahnya haruslah seluruh jemaah itu melontari dia dengan batu.

15 Engkau harus mengatakan kepada orang Israel, begini: Setiap orang yang mengutuki Allah harus menanggung kesalahannya sendiri.

16 Siapa yang menghujat nama TUHAN, pastilah ia dihukum mati dan dilontari dengan batu oleh seluruh jemaah itu. Baik orang asing maupun orang Israel asli, bila ia menghujat nama TUHAN, haruslah dihukum mati.

(Imamat 24:10-16)


Bunuhlah Nabi / pemimpin dari agama lain
1) 1 Apabila di tengah-tengahmu muncul seorang nabi atau seorang pemimpi, dan ia memberitahukan kepadamu suatu tanda atau mujizat,

2 dan apabila tanda atau mujizat yang dikatakannya kepadamu itu terjadi, dan ia membujuk: Mari kita mengikuti allah lain, yang tidak kaukenal, dan mari kita berbakti kepadanya,

3 maka janganlah engkau mendengarkan perkataan nabi atau pemimpi itu; sebab TUHAN, Allahmu, mencoba kamu untuk mengetahui, apakah kamu sungguh-sungguh mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu.

4 TUHAN, Allahmu, harus kamu ikuti, kamu harus takut akan Dia, kamu harus berpegang pada perintah-Nya, suara-Nya harus kamu dengarkan, kepada-Nya harus kamu berbakti dan berpaut.

5 Nabi atau pemimpi itu haruslah dihukum mati, karena ia telah mengajak murtad terhadap TUHAN, Allahmu, yang telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir dan yang menebus engkau dari rumah perbudakan--dengan maksud untuk menyesatkan engkau dari jalan yang diperintahkan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk dijalani.

Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.

(Ulangan 13:1-5)


2) 20 Tetapi seorang nabi, yang terlalu berani untuk mengucapkan demi nama-Ku perkataan yang tidak Kuperintahkan untuk dikatakan olehnya, atau yang berkata demi nama allah lain, nabi itu harus mati.

21 Jika sekiranya kamu berkata dalam hatimu: Bagaimanakah kami mengetahui perkataan yang tidak difirmankan TUHAN? --

22 apabila seorang nabi berkata demi nama TUHAN dan perkataannya itu tidak terjadi dan tidak sampai, maka itulah perkataan yang tidak difirmankan TUHAN; dengan terlalu berani nabi itu telah mengatakannya, maka janganlah gentar kepadanya."

(Ulangan 18:20-22)


Waria harus dihukum mati
27 Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.

(Roma 1:27)


Bunuhlah seseorang yang memasuki ruangan suci tabernakel
Apabila berangkat, Kemah Suci harus dibongkar oleh orang Lewi, dan apabila berkemah, Kemah Suci harus dipasang oleh mereka; sedang orang awam yang mendekat harus dihukum mati. (Bilangan 1:51)

Bunuhlah manusia yang bekerja pada hari minggu
14 Haruslah kamu pelihara hari Sabat, sebab itulah hari kudus bagimu; siapa yang melanggar kekudusan hari Sabat itu, pastilah ia dihukum mati, sebab setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, orang itu harus dilenyapkan dari antara bangsanya.

15 Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada sabat, hari perhentian penuh, hari kudus bagi TUHAN: setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari Sabat, pastilah ia dihukum mati.

(Keluaran 31:14-15)

2) Tuhan yang ada didalam alkitab Kristen memerintahkan nabi-nabinya untuk membunuh demi sebuah alasan tolol yang tidak masuk nalar:


Bunuhlah anak-anak yang sedang mengejek
23 Elisa pergi dari sana ke Betel. Dan sedang ia mendaki, maka keluarlah anak-anak dari kota itu, lalu mencemoohkan dia serta berseru kepadanya: "Naiklah botak, naiklah botak!"

24 Lalu berpalinglah ia ke belakang, dan ketika ia melihat mereka, dikutuknyalah mereka demi nama TUHAN.

Maka keluarlah dua ekor beruang dari hutan, lalu mencabik-cabik dari mereka empat puluh dua orang anak.

(2 Raja-raja 2:23-24)


Tuhan membunuh karena penasaran
19 Dan Ia membunuh beberapa orang Bet-Semes, karena mereka melihat ke dalam tabut TUHAN; Ia membunuh tujuh puluh orang dari rakyat itu. Rakyat itu berkabung, karena TUHAN telah menghajar mereka dengan dahsyatnya.

20 Dan orang-orang Bet-Semes berkata: "Siapakah yang tahan berdiri di hadapan TUHAN, Allah yang kudus ini? Kepada siapakah Ia akan berangkat meninggalkan kita?"

(1Samuel 6:19-20)


Mati dibunuh singa
35 Seorang dari rombongan nabi berkata kepada temannya atas perintah TUHAN: "Pukullah aku!" Tetapi orang itu menolak memukulnya.

36 Lalu ia berkata kepadanya: "Oleh sebab engkau tidak mendengarkan suara TUHAN, ketahuilah, apabila engkau pergi dari padaku, seekor singa akan menerkam engkau." Dan ketika orang itu pergi dari padanya, maka seekor singa bertemu dengan dia, lalu menerkam dia.

(1 Raja-raja 20:35-36)


Tuhan membunuh pengikutnya yang baik hanya karena teledor
6 Ketika mereka sampai ke tempat pengirikan Nakhon, maka Uza mengulurkan tangannya kepada tabut Allah itu, lalu memegangnya, karena lembu-lembu itu tergelincir.

7 Maka bangkitlah murka TUHAN terhadap Uza, lalu Allah membunuh dia di sana karena keteledorannya itu; ia mati di sana dekat tabut Allah itu.

(2 Samuel 6:6-7)

3) PEMBANTAIAN ANAK-ANAK


Bunuhlah anak-anak keturunan pendosa
21 Dirikanlah bagi anak-anaknya tempat pembantaian, oleh karena kesalahan nenek moyang mereka, supaya mereka jangan bangun dan menduduki bumi dan memenuhi dunia dengan kota-kota.". (Yesaya 14:21)