Jumat, 04 Januari 2013

Hukum Bertepuk Tangan Dan Berdiri Untuk Guru ﴿ حكم التصفيق والقيام للمعلم ﴾ ] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي Syaikh Abdul Aziz bin Baz - rahimahullah




بسم الله الرحمن الرحيم


Hukum Bertepuk Tangan Dan Berdiri Untuk Guru

          Pertanyaan: di beberapa sekolah, apabila siswa melakukan sesuatu yang baik, maka teman-temannya memberikan tepuk tangan untuknya. Sebagaimana para siswa berdiri untuk mudir, atau guru apabila memasuki kelas, apakah
          Jawaban: Bertepuk tangan dimakruhkan dengan sangat, ia termasuk perilaku kaum jahiliyah dan termasuk sifat wanita. Firman Allah dalam menggambarkan orang-orang kafir:
وَمَاكَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَآءً وَتَصْدِيَةً فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ
Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS. al-Anfaal:35)

Para ahli tafsir rahimahullah berkata: 'Muka` adalah bersiul dan tashdiyah adalah bertepuk tangan.' Dan Nabi  bersabda:
إِذَا نَابَكُمْ فِى الصَّلاَةِ شَيْئٌ فَلْيُسَبِّحِ الرِّجَالُ وَلْيُصُفِّقِ النِّسَاءُ
"Apabila sesuatu menimpa kamu di dalam shalat (imam lupa, pent) maka hendaklah laki-laki membaca tasbih dan wanita bertepuk tangan."[1]
Dan dalam lafazh yang lain:
التَّسْبِيْحُ لِلرِّجَالِ وَالتَّصْفِيْقُ لِلنِّسَاءِ
"Tasbih untuk laki-laki dan tepuk tangan untuk wanita."[2]
Demikian pula berdirinya para siswa karena guru sedang mereka tetap berada di tempat mereka hukumnya makruh yang sangat, berdasarkan ucapan Anas t tentang para sahabat: "Tidak ada seorang pun yang lebih mereka cintai selain Rasulullah, dan mereka tidak berdiri untuknya apabila beliau datang karena mereka mengetahui bahwa beliau  tidak menyukai hal itu."[3]
Namun bila siswa atau selainnya berdiri untuk menyambut yang datang dan memberi salam kepadanya serta menyalaminya maka tidak mengapa, berdasarkan sabda Nabi :
قُوْمُوْا لِسَيِّدِكُمْ
"Berdirilah untuk pemimpin kamu."[4] Maksudnya adalah Sa'ad bin Mu'adzt ketika ia datang untuk memberi keputusan kepada bani Quraizhah. Dan beliau berdiri untuk putrinya Fathimah radhiyallahu 'anha apabila ia datang kepadanya, memegang tangannya dan mengecup (kepalanya). Dan apabila beliau  datang kepadanya (Fathimah radhiyallahu 'anha), ia berdiri kepada beliau, memegang tangannya dan mengecup (kepalanya).
          Dan ketika Allah Y menerima taubat tiga orang yang tertinggal (dari perang Tabuk), mereka adalah Ka'ab bin Malik t dan dua sahabatnya. Ka'ab t datang ke masjid, sedangkan Nabi e duduk di antara para sahabatnya, Thalhah bin Ubaidillah t berdiri kepadanya, menyalaminya dan mengucapkan selamat diterimanya taubatnya. Nabi e memandang dan tidak mengingkarinya. Hadits-hadits dalam pengertian ini sangat banyak.
Wallahu waliyut taufiq.



[1]  Al-Bukhari 1218, Muslim 421, dan Ahmad 5/332 dan ini adalah lafazhnya.
[2] Al-Bukhari 1203, 1204 dan Muslim 422.
[3]  Ahmad 3/132, at-Tirmidzi 2754 dan ia berkata: Hasan shahih gharib. Adh-Dhiya` dalam al-Mukhtarah 1958, dan Ibnu Abi Syaibah dalam 'Mushannaf'nya 25583.
[4]  Al-Bukhari 3043 dan Muslim 1768.

Seputar HUKUM BERHIAS bagi Wanita

Secara khusus, apa hukum memakai pemerah bibir (lipstik)?

Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjawab, “Tidak mengapa memakai pemerah bibir. Karena hukum asal sesuatu itu halal sampai jelas keharamannya. Lipstik ini bukan dari jenis wasym/tato (Sementara untuk tato ini terdapat keterangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melaknat wanita yang membuat tato dan wanita yang minta ditato (HR. Al-Bukhari dan Muslim)., karena wasym itu menanam salah satu warna di bawah kulit. Perbuatan ini diharamkan, bahkan termasuk dosa besar. Akan tetapi bila lipstik tersebut jelas memberikan madharat bagi bibir, membuat bibir kering dan kehilangan kelembabannya, maka terlarang. Pernah disampaikan kepada saya, lipstik tersebut terkadang membuat bibir pecah. Bila memang pasti hal yang demikian, maka seorang insan dilarang melakukan perkara yang dapat memadharatkan dirinya.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 35)
2.Pertanyaan
Apakah diperkenankan seorang wanita memakai make-up untuk suaminya?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjawab, “Seorang istri berhias untuk suaminya dalam batasan-batasan yang disyariatkan, merupakan perkara yang memang sepantasnya dilakukan oleh seorang istri. Karena setiap kali si istri berhias untuk tampil indah di hadapan suaminya, jelas hal itu akan lebih mengundang kecintaan suaminya kepadanya dan akan lebih merekatkan hubungan antara keduanya. Hal ini termasuk tujuan syariat. Bila make-up itu memang mempercantik si wanita dan tidak memadharatkannya, tidaklah mengapa dipakai dan tidak ada dosa. Namun masalahnya, saya pernah mendengar make-up tersebut bisa berdampak buruk pada kulit wajah, serta mengubah kulit wajah si wanita di kemudian hari menjadi rusak sebelum masanya rusak disebabkan usia. Karena itu saya menyarankan agar para wanita bertanya kepada dokter tentang hal tersebut. Bila memang demikian dampak/efek samping make-up, maka pemakaian make-up bisa jadi haram atau minimalnya makruh. Karena segala sesuatu yang mengantarkan manusia pada keburukan dan kejelekan, hukumnya haram atau makruh.
Kesimpulannya dalam masalah make-up ini, kami melarangnya bila memang make-up tersebut hanya menghiasi wajah sesaat, tetapi membuat madharat yang besar bagi wajah dalam jangka lama. Karena itulah kami menasihatkan kepada para wanita agar tidak memakai make-up disebabkan madharatnya yang pasti.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 11-12, 35-36)
3.Pertanyaan
Marak di kalangan remaja putri kebiasaan memotong rambut hingga pundak dalam rangka berdandan. Demikian pula memakai sepatu bertumit sangat tinggi dan bermake-up. Lantas apa hukum dari perbuatan-perbuatan tersebut?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu memberikan fatwa dalam masalah di atas, “Potongan rambut wanita bisa jadi modelnya menyerupai potongan rambut laki-laki dan bisa jadi tidak. Bila sekiranya modelnya seperti potongan rambut laki-laki maka hukumnya haram dan termasuk dosa besar, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang tasyabbuh/menyerupai laki-laki (HR. Al-Bukhari, Kitab Al-Libas, bab Al-Mutasyabbihina bin Nisa’ wal Mutasyabbihat bir Rijal)
Bila modelnya tidak sampai menyerupai laki-laki, maka ulama berbeda pendapat hingga menjadi tiga pendapat. Di antara mereka ada yang mengatakan boleh, tidak mengapa. Di antaranya ada yang berpendapat haram. Pendapat yang ketiga mengatakan makruh. Yang masyhur dari madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullahu adalah perbuatan tersebut makruh.
Sebenarnya, memang tidak sepantasnya kita menerima segala kebiasaan dari luar yang datang pada kita. Belum lama dari zaman ini, kita melihat para wanita berbangga dengan rambut mereka yang lebat dan panjang. Tapi kenapa keadaan mereka pada hari ini demikian bersemangat memendekkan rambut mereka? Mereka telah mengadopsi kebiasaan yang datang dari luar negeri kita. Saya tidaklah bermaksud mengingkari segala sesuatu yang baru. Namun saya mengingkari segala sesuatu yang mengantarkan perubahan masyarakat dari kebiasaan yang baik menuju kepada kebiasaan yang diambil dari selain kaum muslimin.
Adapun sandal ataupun sepatu yang tinggi, tidak boleh digunakan apabila tingginya di luar kebiasaan, mengantarkan pada tabarruj, dan (dengan maksud) mengesankan si wanita tinggi serta menarik pandangan mata lelaki. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Janganlah kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang awal.” (Al-Ahzab: 33)
Maka, segala sesuatu yang membuat wanita melakukan tabarruj, membuat ia tampil beda daripada wanita lainnya, dengan maksud berhias, maka haram, tidak boleh dilakukannya.
Tentang pemakaian make up, tidak mengapa bila memang tidak memberi madharat atau membuat fitnah.
Masalah bercelak ada dua macam:
Pertama: Bercelak dengan tujuan menajamkan pandangan mata dan menghilangkan kekaburan dari mata, membersihkan mata dan menyucikannya tanpa ada maksud berdandan. Hal ini diperkenankan. Bahkan termasuk perkara yang semestinya dilakukan (bagi lelaki maupun wanita, pen.) Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencelaki kedua mata beliau, terlebih lagi bila bercelak dengan itsmid (Celak jenis tertentu).
Kedua: Bercelak dengan tujuan berhias dan dipakai sebagai perhiasan. Hal ini dituntut untuk dilakukan para wanita/istri, karena seorang istri dituntut berhias untuk suaminya. Adapun bila lelaki memakai celak dengan tujuan yang kedua ini maka harus ditinjau ulang masalah hukumnya. Saya sendiri bersikap tawaqquf (tidak melarang tapi tidak pula membolehkan, pen.) dalam masalah ini. Terkadang pula dibedakan dalam hal ini antara pemuda yang dikhawatirkan bila ia bercelak akan menimbulkan fitnah, maka ia dilarang memakai celak, dengan orang tua (lelaki yang tidak muda lagi) yang tidak dikhawatirkan terjadi fitnah bila ia bercelak.” (Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 8-11)
Dalam masalah sepatu bertumit tinggi, Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta’ yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Al-Walid Abdul Aziz ibn Abdillah ibnu Baz rahimahullahu memfatwakan, “Memakai sepatu bertumit tinggi tidak boleh, karena dikhawatirkan wanita yang memakainya berisiko jatuh. Sementara seseorang diperintah secara syar’i untuk menjauhi bahaya berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Janganlah kalian menjatuhkan diri-diri kalian kepada kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195)
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
Janganlah kalian membunuh jiwa kalian.” (An-Nisa’: 29)
Selain itu, sepatu bertumit tinggi akan menampakkan tubuh wanita lebih dari yang semestinya (lebih tinggi dari postur sebenarnya, pen.). Tentunya yang seperti ini mengandung unsur penipuan. Dengan memakai sepatu bertumit tinggi berarti menampakkan sebagian perhiasan yang sebenarnya dilarang untuk ditampakkan oleh wanita muslimah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka atau bapak-bapak mereka atau bapak-bapak mertua mereka (ayah suami) atau anak-anak laki-laki mereka atau anak-anak laki-laki dari suami-suami mereka atau saudara-saudara laki-laki mereka atau anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki dari saudara lelaki) atau keponakan laki-laki dari saudara perempuan mereka atau di hadapan wanita-wanita mereka.” (An-Nur: 31) [Fatwa no. 1678, Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 17/123-124]

HUKUM WANITA BERZIARAH KUBUR

Apa hukumnya wanita berziarah kubur?

Wanita melakukan ziarah kubur hukumnya adalah makruh, bukan haram (Lihat As-Sayyid Al-Bakri, I’anah Ath-Thalibin, II/142; Zakariya Al-Anshari,  Fathul Wahhab, I/100; Syaikh Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, I/170). Jadi, wanita yang berziarah kubur tidak berdosa, tetapi sebaiknya wanita tidak melakukannya.
Dalilnya adalah hadits Nabi SAW riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Anas RA bahwa Nabi SAW pernah melintasi seorang wanita yang sedang menangis di dekat kubur anaknya. Lalu Nabi SAW berkata kepada wanita itu,”Bertakwalah kamu kepada Allah, dan bersabarlah!” (Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, hal. 143, As-Sayyid Al-Bakri, I’anah Ath-Thalibin, II/142).
Perkataan Nabi SAW ”Bertakwalah kamu kepada Allah, dan bersabarlah!” menunjukkan bahwa wanita yang menangis di dekat kubur anaknya itu tidak bertakwa dan tidak bersabar. Padahal wanita itu menjadi tak bertakwa dan tak bersabar, adalah karena menziarahi kubur anaknya. Berarti, hadits itu menunjukan adanya larangan (nahi) bagi wanita untuk melakukan ziarah kubur. Hanya saja, larangan tersebut bukanlah larangan yang tegas/pasti (jazim) –yang menunjukkan hukum haram— melainkan larangan yang tidak tegas/pasti (ghayr jazim), yang menunjukkan hukum makruh. Hal ini bisa diketahui dari beberapa qarinah (indikasi) yang ada. Di antaranya, Nabi SAW –dalam hadits Anas RA tersebut– tidak memerintahkan secara tegas kepada wanita tersebut untuk segera meninggalkan kubur anaknya. Kalau sekiranya ziarah kubur hukumnya haram, niscaya Nabi SAW tidak akan mencukupkan diri hanya dengan menyuruh wanita itu bertakwa dan bersabar, tetapi juga akan memerintahkan wanita itu untuk segera meninggalkan kubur anaknya. Kenyataannya Nabi SAW tidak memerintahkan wanita itu meninggalkan kubur anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa larangan Nabi SAW kepada wanita untuk berziarah kubur, bukanlah larangan haram, melainkan larangan makruh (Lihat As-Sayyid Al-Bakri, I’anah Ath-Thalibin, II/142).
Selain itu, masih ada qarinah-qarinah lain yang menunjukkan bahwa larangan ziarah kubur bagi wanita bukanlah larangan haram, melainkan larangan makruh. Imam Muslim meriwayatkan, bahwa ‘A`isyah RA bertanya kepada Nabi SAW,”Bagaimana aku mengucapkan [doa], wahai Rasulullah, jika aku berziarah kubur? Nabi SAW berkata,”Ucapkanlah ‘Assalamu ‘ala ahlid diyaari minal mu`miniin wal muslimiin wa yarhamullaahul mustaqdimiina wal musta`khiriina, wa innaa in syaa`allaahu bikum laahiquun.” (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, II/114; Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, hal. 142). Hadits ini menunjukkan, bahwa Rasulullah SAW membolehkan (men-taqrir) wanita untuk berziarah kubur. Sebab jika tidak boleh, niscaya Nabi SAW tidak akan mengajarkan doa tersebut kepada ‘A`isyah RA dan bahkan akan melarangnya untuk berziarah kubur. Dari sinilah kita dapat memahami mengapa sebagian sahabat Rasulullah SAW yang wanita melakukan ziarah kubur, sebab hukumnya memang tidak haram. ‘A`isyah RA sendiri pernah menziarahi kubur saudara laki-lakinya, yakni Abdurrahman bin Abi Bakar, yang wafat dan dimakamkan di Makkah (Subulus Salam, Juz II/114).  Fatimah RA juga diriwayatkan menziarahi kubur pamannya, yaitu Hamzah bin Abdil Muthallib, pada setiap hari Jumat, lalu Fatimah berdoa dan menangis di sisi kubur pamannya (HR Al-Hakim, dari ‘Ali bin Al-Husain RA, Subulus Salam, II/115).
Jika kita gabungkan berbagai qarinah ini dengan larangan (nahi) dari hadits Nabi SAW untuk menziarahi kubur bagi wanita (hadits Anas RA), jelaslah bahwa larangan yang ada bukanlah larangan tegas (jazim), melainkan larangan yang tidak tegas (ghayr jazim). Maka, ziarah kubur bagi wanita hukumnya adalah makruh, bukan haram.
Perlu kami tambahkan sedikit keterangan, bahwa ada sebagian ulama yang mengharamkan wanita melakukan ziarah kubur. Bahkan mereka menganggap perbuatan itu sebagai dosa besar. Demikianlah pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (Lihat Abdur Rahman bin Abdullah Al-Ghaits, Bimbingan Lengkap Penyelenggaraan Jenazah [Al-Wijaazah fi Tajhiizil Janaazah], Solo : At-Tibyan, 2003, hal. 248).
Dalil pendapat ini adalah hadits dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW melaknat para wanita yang berziarah kubur [Arab : la’ana rasulullahi zaa`i`raat al-qubuur] (HR. At-Tirmidzi, dan dinilai sahih oleh Ibnu Hibban, Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, II/114; HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim dari Hisan bin Tsabit RA, hadits ini dinilai shahih oleh As-Suyuthi, lihat As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, hal. 124).
Menurut pemahaman kami, pendapat ini lemah. Sebab, larangan ziarah kubur bagi wanita dalam hadits Abu Hurairah tersebut, telah dihapuskan (di-nasakh) oleh Nabi SAW. Hal ini bisa diketahui dari hadits riwayat Imam Muslim dari Buraidah bin Al-Hashib Al-Aslami RA, dia berkata,”Telah berkata Rasulullah SAW,’Dahulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur. Maka [sekarang] berziarahlah kalian.” (Subulus Salam, II/114). Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa sebelumnya Nabi SAW memang mengharamkan ziarah kubur. Namun, kemudian Nabi SAW memerintahkan untuk ziarah kubur. Jadi, hadits Buraidah ini menghapuskan (me-nasakh) larangan Nabi SAW untuk berziarah kubur sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah di atas. Ini diperkuat lagi dengan hadits lain, dari Abdullah bin Abi Malikah RA, bahwa  ‘A`isyah pada suatu hari datang dari kuburan, maka saya (Abdullah bin Abi Malikah RA) bertanya kepadanya,”Wahai Ummul Mu`minin, dari mana Anda datang?” ‘A`isyah menjawab,”Dari kuburan saudaraku, Abdurrahman.” Saya bertanya lagi kepadanya,”Bukankah Rasulullah telah melarang ziarah kubur?” ‘A`isyah menjawab,”Memang, dahulu Rasulullah melarang ziarah kubur, tapi kemudian beliau memerintahkan menziarahi kubur.” (HR. Al-Hakim dan Ibnu Hibban. Lihat Ibrahim Muhammad Jamal, Fiqih Wanita (Fiqh Al-Mar`ah Al-Muslimah), Alih Bahasa Anshori Umar Sitanggal, Semarang : Asy-Syifa`, 1986, hal. 177-178).
Dengan demikian, berdasarkan hadits terakhir ini, jelaslah bahwa larangan ziarah kubur (termasuk ziarah kubur bagi wanita) hukumnya telah dinasakh dan tidak berlaku lagi (Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, III/99). Maka dari itu, ziarah kubur sekarang hukumnya tidaklah haram, namun diperintahkan Nabi SAW.
Adapun perintah Nabi SAW untuk ziarah kubur,”…maka berziarahlah kalian, fa-zuuruuha),” pada asalnya menunjukkan hukum boleh (ibahah) (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, III/40). Sebab adanya perintah sesudah larangan, menunjukkan boleh (ibahah). Demikian kaidah mayoritas fuqaha (Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, II/315). Namun hukum boleh ini ternyata disertai pujian (al-madh) bagi yang melakukannya, sebagai qarinah yang menunjukkan hukum mandub (sunnah). Dalam riwayat At-Tirmidzi, hadits Nabi SAW ”…maka berziarahlah kalian!” ada tambahannya, yaitu sabda Nabi SAW,”Karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan akhirat.” (Arab : fa-innahaa tudzakkir al-akhirah). Jadi, hadits ini lengkapnya,”Dahulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur. Maka [sekarang] berziarahlah kalian. Karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan akhirat.”  (HR. At-Tirmidzi, Subulus Salam, II/114). Adanya hikmah ziarah kubur sebagai pengingat akhirat, menunjukkan adanya pujian (al-madh) terhadap aktivitas ziarah kubur. Dengan demikian, pada hadits ini terdapat suatu qarinah yang lebih merajihkan (menguatkan/mengunggulkan) dilakukannya ziarah kubur daripada tidak dilakukannya ziarah kubur.
Maka dari itu, ziarah kubur hukumnya adalah mandub (sunnah) menurut syara’. Hukum ini adalah bagi para laki-laki. Adapun bagi para wanita, hukumnya adalah makruh, seperti telah diterangkan sebelumnya. Hukum makruh itu artinya lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan, meskipun jika dikerjakan tidak berdosa. Jadi, lebih baik wanita tidak melakukan ziarah kubur. Itulah yang  lebih baik baginya.

HUKUM ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT DENGAN SENGAJA

Ulama Ahli Hadits berbeda pendapat mengenai orang yang meninggalkan shalat wajib dengan sengaja.
Imam Ahmad dan banyak ulama salaf13 menganggap kafir orang tersebut dan mengeluarkannya dari Islam, berdasarkan hadits shahih bahwasanya Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
"Yang membatasi antara seorang hamba dan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat. Siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir." 14
Sementara Imam Syafi'i, para sahabatnya dan banyak ulama salaf menganggap orang tersebut belum kafir, selama masih meyakini kewajiban shalat tersebut. Akan tetapi mereka berpendapat bahwa orang tersebut harus dibunuh, sebagaimana dibunuhnya orang-orang murtad.
Mereka menafsirkan sabda Nabi shallallahu'alaihi wa sallam:
"Siapa yang meninggalkan shalat (dengan mengingkari kewajibannya) maka ia kafir"
Hal itu sebagaimana firman Allah:
إِنِّي تَرَكْتُ مِلَّةَ قَوْمٍ لاَّ يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَهُم بِالآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ
"Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka kafir (ingkar) kepada hari kemudian" (Yuusuf:37).
Beliau (Yusuuf) meninggalkan mereka bukan karena tindakan yang belum jelas kekufurannya, namun karena mereka mengingkari (Allah dan hari akhir).
13 Diantara mereka: Ishaq bin Rahawaih, Ibnul Mubarak, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hakam bin Utaibah, Ayyub As-Sakhtiyani, Abu Bakar bin Syaibah, Abu Khaitsamah, Zuhaeir bin Harab dan lainnya. Adapun dari kalangan: Sahabat: Umar bin Khatab, Mu'adz bin Jabal, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah, Abu Darda dan lainnya.
14 Dikeluarkan oleh Ibnu Nashar, Muslim, Ahmad dan lainnya.

Kamis, 03 Januari 2013

Rahasia Hati Seorang Perempuan



- SENSITIF : bukan bermaksud suka merajuk, tapi hanya ingin bermanja dan mendapatkan perhatian ...

- CEREWET : bukan bermaksud FUSSY tak menentu, kadang ingin LELAKI mengikut kata-katanya sekali aja ...

- HALUS : ibarat sehalai sutra, cantik, mulus, lembut dan mudah tercabik dan koyak ... walaupun seorang wanita memaafkan seseorang yang lain atas sebab kesalahan, biasanya WANITA akan ingat kesalahan tersebut untuk disimpan jadi pelajaran. Bukan DENDAM ...

- IKHLAS : ikhlas seorang wanita tak perlu diragui .....

- KORBAN : WANITA sanggup berkorban apa saja untuk seseorang yang amat disayangi, termasuk
ibu bapak, anak-anak, dan suami ... WANITA amat tabah ...

- PRIHATIN : sentiasa memerhatikan keadaan sekeliling dalam diam ...

- MANJA : walaupun dia adalah seorang WANITA yang pandai berdikari, naluri seorang WANITA tetap seorang WANITA, suka bermanja hanya kepada insan yang bernama LELAKI, namun juga sesama kaum ...

- EGO : WANITA yang terlalu sayangkan kekasihnya sanggup menolak ketepi EGOnya apabila bertemu dengan yang dicintainya ...

- CINTA : CINTA pertama bagi wanita adalah yang paling dalam dan tulus.... bukan di khianati...

- SEKS : seks bukanlah segala-galanya buat WANITA karena WANITA diciptakan dengan 9 nafsu dan 1 akal. NAFSU yang banyak dan tidak tertumpu kepada satu saja. LELAKI pula dijadikan dengan 9 akal dan 1 nafsu ... Fungsi lelaki adalah membimbing WANITA dan bukan menghanyutkan wanita ...
SUBHANALLAH...

Selasa, 01 Januari 2013

RUQYAH DAN TAMIMAH

Diriwayatkan dalam shoheh Bukhori dan Muslim bahwa Abu Basyir Al Anshori Radhiallahu’anhu bahwa dia pernah bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam suatu perjalanan, lalu beliau mengutus seorang utusan untuk menyampaikan pesan :

"أن لا يبقين في رقبة بعير قلادة من وتر أو قلادة إلا قطعت"

          “Agar tidak terdapat lagi dileher onta kalung dari tali busur panah atau kalung apapun harus diputuskan.

  Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu menuturkan : aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

"إن الرقى والتمائم والتولة شرك " رواه أحمد وأبو داود.

          “Sesungguhnya Ruqyah, Tamimah dan Tiwalah adalah syirik.”(HR. Ahmad dan Abu Dawud)



           TAMIMAH adalah sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak untuk menangkal dan menolak penyakit ‘ain. Jika yang dikalungkan itu berasal dari ayat-ayat Al Qur’an, sebagian ulama salaf memberikan keringanan dalam hal ini, dan sebagian yang lain tidak memperbolehkan dan melarangnya, diantaranya Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu ([1]).

          RUQYAH ([2]) yaitu : yang disebut juga dengan istilah Ajimat. Ini diperbolehkan apabila penggunaannya bersih dari hal-hal syirik, karena Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah memberikan keringanan dalam hal ruqyah ini untuk mengobati ‘ain atau sengatan kalajengking.

          TIWALAH adalah sesuatu yang dibuat dengan anggapan bahwa hal tersebut dapat menjadikan seorang istri mencintai suaminya, atau seorang suami mencintai istrinya.



          Dalam hadits marfu’ dari Abdullah bin ‘Ukaim Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

"من تعلق شيئا وكل إليه " رواه أحمد والترمذي

“Barang siapa yang menggantungkan sesuatu (dengan anggapan bahwa barang tersebut bermanfaat atau dapat melindungi dirinya), maka Allah akan menjadikan orang tersebut selalu bergantung kepadanya.”(HR. Ahmad dan At Turmudzi)



          Imam Ahmad meriwayatkan dari Ruwaifi’ Radhiallahu’anhu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda kepadanya :

"يا رويفع، لعل الحياة تطول بك، فأخبر الناس أن من عقد لحيته، أو تقلد وترا، أو استنجى برجيع دابة أو عظم، فإن محمدا بريء منه"

         “Hai Ruwaifi’, semoga engkau berumur panjang, oleh karena itu sampaikanlah kepada orang-orang bahwa barang siapa yang menggulung jenggotnya, atau memakai kalung dari tali busur panah, atau bersuci dari buang air dengan kotoran binatang atau tulang, maka sesungguhnya Muhammad berlepas diri dari orang tersebut”.



          Waki’ meriwayatkan bahwa Said bin Zubair Radhiallahu’anhu berkata :



          “Barang siapa yang memotong tamimah dari seseorang maka tindakannya itu sama dengan memerdekakan seorang budak.”

           Dan waki’ meriwayatkan pula bahwa Ibrahim (An Nakho’i) berkata : “Mereka (para sahabat) membenci segala jenis tamimah, baik dari ayat-ayat Al Qur’an maupun bukan dari ayat-ayat Al Qur’an.”







        Kandungan bab ini :

Pengertian ruqyah dan tamimah.

Pengertian tiwalah.

Ketiga hal diatas merupakan bentuk syirik dengan tanpa pengecualian.

Adapun ruqyah dengan  menggunakan ayat ayat Al Qur’an atau  doa-doa yang telah diajarkan oleh Rasulullah untuk mengobati penyakit ‘ain, sengatan serangga atau yang lainnya, maka tidak termasuk syirik.

Jika tamimah itu  terbuat dari ayat-ayat Al Qur’an, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, apakah termasuk ruqyah yang diperbolehkan atau tidak ?

Mengalungkan tali busur panah pada leher binatang untuk mengusir penyakit ‘ain, termasuk syirik juga.

Ancaman berat bagi orang yang mengalungkan tali busur panah dengan maksud dan tujuan diatas.

Besarnya pahala bagi orang yang memutus tamimah dari tubuh seseorang.

Kata-kata Ibrahim An Nakhoi tersebut di atas, tidaklah  bertentangan dengan perbedaan pendapat yang telah disebutkan, sebab yang dimaksud Ibrahim di sini adalah sahabat-sahabat Abdullah bin mas’ud ([3]).

(1)    Tamimah dari ayat Al Qur’an dan Al Hadits lebih baik ditinggalkan, karena tidak ada dasarnya dari syara’, bahkan hadits yang melarangnya bersifat umum, tidak seperti halnya ruqyah, ada hadits lain yang membolehkan. Di samping itu apabila dibiarkan atau diperbolehkan akan membuka peluang untuk menggunakan tamimah yang haram.

(2)      Ruqyah : penyembuhan suatu penyakit dengan pembacaan ayat ayat suci Al Qur’an, atau doa doa.

(3)     Sahabat Abdullah bin Mas’ud antara lain : Alqomah, Al Aswad, Abu Wail, Al Harits bin Suwaid, ‘Ubaidah As Salmani, Masruq, Ar Rabi’ bin Khaitsam, Suwaid bin ghoflah. Mereka ini adalah tokoh generasi tabiin.

Senin, 31 Desember 2012

Perihal Mesjid

1. Semua lahan adalah mesjid, kecuali kuburan dan tempat pemandian. (HR. Ahmad)


2. Rasulullah Saw menyuruh kita membangun masjid-masjid di daerah-daerah dan agar masjid-masjid itu dipelihara kebersihan dan keharumannya. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)


3. Aku tidak menyuruh kamu membangun masjid untuk kemewahan (keindahan) sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani. (HR. Ibnu Hibban dan Abu Dawud)


4. Janganlah menjadikan kuburanku sebagai tempat pemujaan berhala. Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan-kuburan para nabi sebagai masjid-masjid. (HR. Bukhari dan Abu Ya'la)


5. Mimbarku (terletak) di tepi jalur menuju surga. Antara mimbarku dan kamarku adalah taman dari taman-taman surga. (HR. Ahmad)


6. Tidak dibenarkan ziarah (kunjungan) ke masjid-masjid kecuali pada ketiga masjid, yaitu masjidil Haram (Mekah), masjidil Aqsha (Baitul Maqdis), dan masjidku ini (Madinah). (HR. Bukhari dan Muslim)


7. Shalat di masjidku ini lebih afdol (utama) dari seribu shalat di masjid-masjid lainnya, kecuali masjidil Haram, dan shalat di masjidil Haram lebih afdol (utama) dari seratus shalat di masjidku ini. (HR. Ahmad)


8. Apabila seorang mengantuk saat shalat Jum'at di masjid maka hendaklah pindah tempat duduknya ke tempat duduk lainnya. (HR. Al Hakim dan Al-Baihaqi)


9. Bila seorang masuk ke masjid hendaklah shalat (sunnat) dua rakaat sebelum duduk. (HR. Ahmad)


10. Apabila seorang isteri minta ijin suaminya untuk pergi ke masjid maka janganlah sang suami melarangnya. (HR. Bukhari)


11. Sebaik-baik masjid (tempat bersujud) untuk wanita ialah dalam rumahnya sendiri. (HR. Al-Baihaqi dan Asysyihaab)


12. Tidak ada shalat bagi tetangga masjid, selain dalam masjid. (HR. Adarqathani)


13. Apabila kamu melihat orang yang terbiasa masuk masjid maka saksikanlah bahwa dia beriman karena sesungguhnya Allah telah berfirman dalam surat At taubah ayat 18: "Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah lah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Maka mereka lah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)


14. Beritakanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan kaki di malam gelap-gulita menuju masjid bahwa bagi mereka cahaya yang terang-benderang di hari kiamat. (HR. Al Hakim dan Tirmidzi)


15. Barangsiapa membangun untuk Allah sebuah masjid (mushola) walaupun sebesar kandang unggas (rumah gubuk) maka Allah akan membangun baginya rumah di surga. (HR. Asysyihaab dan Al Bazzar)


16. Nabi Saw bertanya kepada malaikat Jibril As, "Wahai Jibril, tempat manakah yang paling disenangi Allah?" Jibril As menjawab, "Masjid-masjid dan yang paling disenangi ialah orang yang pertama masuk dan yang terakhir ke luar meninggalkannya." Nabi Saw bertanya lagi," Tempat manakah yang paling tidak disukai oleh Allah Ta'ala?" Jibril menjawab, "Pasar-pasar dan orang-orang yang paling dahulu memasukinya dan paling akhir meninggalkannya." (HR. Muslim)

Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press

Surga dan Neraka

1. Surga dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disukai dan neraka dikelilingi oleh syahwat. (HR. Bukhari)


2. Aku menjenguk ke surga, aku dapati kebanyakan penghuninya orang-orang fakir-miskin dan aku menjenguk ke neraka, aku dapati kebanyakan penghuninya kaum wanita. (HR. Ahmad)

3. Tiada sesuatu yang disesali oleh penghuni surga kecuali satu jam yang mereka lewatkan (di dunia) tanpa mereka gunakan untuk berzikir kepada Allah Azza wajalla. (HR. Ad-Dailami)

4. Aku (Rasulullah Saw) bertemu (nabi) Ibrahim ketika Isra'. Dia berkata, "Ya Muhammad, sampaikan salamku kepada umatmu dan beritahukan mereka: "Sesungguhnya surga itu baik lahannya, tawar airnya, lembah-lembahnya datar dan tanamannya: 'Subhanallah walhamdulillah walailaha illallah wallahu akbar'." [hadits ini tidak dituliskan siapa yang meriwayatkannya, karena itu saya sertakan teks arabnya]


5. Tidak ada di surga sesuatu yang sama seperti yang ada di dunia kecuali nama-nama orang. (Ath-Thabrani)


6. Rasulullah Saw bersabda bahwa Allah Swt berfirman: "Aku menyiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh apa-apa yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan belum pernah terlintas dalam benak manusia. Oleh karena itu bacalah kalau kamu suka ayat: 'Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.' (As-Sajdah: 17)." (Mutafaq'alaih)


7. Penghuni neraka ialah orang yang buruk perilaku dan akhlaknya dan orang yang berjalan dengan sombong, sombong terhadap orang lain, menumpuk harta kekayaan dan bersifat kikir. Adapun penghuni surga ialah rakyat yang lemah, yang selalu dikalahkan. (HR. Al Hakim dan Ahmad)


8. Azab yang paling ringan di neraka pada hari kiamat ialah dua butir bara api di kedua telapak kakinya yang dapat merebus otak. (HR. Tirmidzi)


9. Api anak Adam yang biasa dipakai untuk memasak adalah bagian dari tujuh puluh bagian api neraka. (Artinya, panas di neraka 70 kali lipat panas api di dunia). (HR. Bukhari)


10. Nabi Saw masuk surga, orang yang mati syahid, anak yang belum dewasa (baligh) dan anak perempuan kecil yang dikubur hidup-hidup masuk surga juga. (HR. Abu Dawud)

 Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press

Silsilah Hadits-Hadits Dla'if Pilihan-4 [Barangsiapa Yang Tidur Setelah 'Ashar...] (Karya Syaikh al-Albani)

Mukaddimah

Selama ini barangkali banyak di antara kita yang masih beranggapan bahwa tidur setelah ‘Ashar tidak dibolehkan dengan berpegang kepada hadits ini.
Nah, benarkah demikian? Apakah hadits tersebut dapat dipertanggungjawabkan? Berikut penjelasannya!


Naskah Hadits



مَنْ ناَمَ بَعْدَ اْلعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ


“Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela selain dirinya sendiri.”

Kualitas Hadits

Hadits ini DHA’IF (LEMAH).

Takhrij Hadits

Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitabnya adh-Dhu’afaa’ Wa al-Majruuhiin (I:283) melalui jalur Khalid bin al-Qasim, dari al-Layts bin Sa’d, dari ‘Uqail, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah secara Marfu’.

Ibnu al-Jawzi juga mengemukakan hadits ini di dalam kitabnya al-Mawdhuu’aat (III:69), ia berkata, “Tidak SHAHIH, Khalid seorang pembohong. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Lahii’ah yang mengambilnya dari Khalid lalu menisbatkannya kepada al-Layts.

Imam as-Suyuthi di dalam al-La’aali (II:150) berkata, “al-Hakim dan periwayat lainnya mengatakan, Khalid hanya menyisipkan nama al-Layts dari hadits Ibn Lahii’ah.”

Kemudian as-Suyuthi menyebutkannya dari jalur Ibn Lahii’ah, terkadang ia berkata, “Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’.” Terkadang ia berkata, “Dari Ibn Syihab (az-Zuhri-red), dari Anas secara marfu’.

Ibn Lahii’ah dinilai Dha’if karena hafalannya. Ia juga meriwayatkan dari jalur lain: dikeluarkan oleh Ibn ‘Adi dalam al-Kaamil (I:211); as-Sahmi di dalam Taarikh Jurjaan (53), darinya (Ibn Lahii’ah), dari ‘Uqail, dari Makhul secaa marfu’ dan mursal. Keduanya (Ibn ‘Adi dan as-Sahmi mengeluarkannya dari jalur Marwan, yang berkata, “Aku bertanya kepada al-Layts bin Sa’d – karena au pernah melihatnya tidur setelah ‘Ashar di bulan Ramadhan-, ‘Wahai Abu al-Harits! Kenapa kamu tidur setelah ‘Ashar padahal Ibn Lahii’a telah meriwayatkan hadits seperti itu kepada kita..[Marwan kemudian menyebutkan teks hadits di atas]. Maka al-Layts menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang berguna bagiku hanya karena hadits Ibn Lahii’ah dari ‘Uqail.!”

Kemudian Ibn ‘Ad juga meriwayatkan dari jalur Manshur bin ‘Ammar, ia berkata, ‘Ibn Lahii’ah menceritakan kepada kami’, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya.’

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Abu Nu’aim di dalam ath-Thibb an-Nabawi (II:12), dari ‘Amr bin al-Hushain, dari Ibn ‘Ilaatsah, dari al-Awza’i, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah secara marfu’. ‘Amr bin al-Hushain ini adalah seorang pembohong sebagaimana yang dikatakan al-Khathib dan ulama hadits lainnya. ia periwayat hadits lain tentang keutamaan ‘Adas (sejenis makanan. Kualitas hadits ini adalah palsu. Lihat: silsilah al-Ahaadits adh-Dha’iifah Wa al-Mawdhuu’ah karya Syaikh al-Albani, no.40, Jld.I, hal.114-red)

Komentar Syaikh al-Albani

Saya sangat terpukau dengan jawaban al-Layts tersebut di mana hal itu menunjukkan kefaqihan dan keilmuannya. Tentunya, tidak aneh sebab ia termasuk salah satu dari ulama tokoh kaum Muslimin dan seorang ahli fiqih yang terkenal.

Dan saya tahu persis, banyak syaikh-syaikh saat ini yang enggan untuk tidur setelah ‘Ashar sekali pun mereka membutuhkan hal itu. Jika dikatakan kepadanya bahwa hadits mengenai hal itu adalah Dha’if (lemah), pasti ia langsung menjawab, “Hadits Dha’if boleh diamalkan dalam Fadha’il al-A’maal (amalan-amalan yang memiliki keutamaan).!”

Karena itu, renungkanlah perbedaan antara kefaqihan Salaf (generasi terdahulu) dan keilmuan Khalaf (generasi yang datang setelah mereka dan lebih diidentikkan dengan mereka yang pemahamannya, khususnya dari sisi ‘Aqidah bertolak belakang dengan Salaf, wallahu a’lam-red).

(SUMBER: Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fii al-Ummah karya Syaikh al-Albani, Jld.I, hal.113-114, no.39, dengan sedikit perubahan)

Silsilah Hadits-Hadits Dla’if Pilihan-4 [Berbincang-bincang Di Masjid…] (Karya Syaikh al-Albani)

Mukaddimah

Ada sementara orang yang beranggapan bahwa memperbincangkan masalah-masalah duniawi di dalam masjid tidak dibolehkan.

Barangkali hal itu mereka lakukan karena ghirah diniyyah (semangat keagamaan) mereka dan rasa penghormatan yang tinggi terhadap masjid, sekali pun ada banyak di antara mereka pula yang entah secara sadar atau tidak juga mencemari keagungan masjid, seperti merokok di dalamnya saat ada acara tertentu padahal bau rokok dalam banyak hal lebih tidak sedap dari bau bawang yang Rasulullah melarang orang yang memakannya (tidak mencuci mulutnya dengan bersih hingga hilang) untuk mendekati masjid.

Nah, benarkah ngobrol-ngobrol tentang dunia tidak dibolehkan di masjid? Apakah kualitas hadits mengenainya dapat dipertanggung-jawabkan? Silahkan simak!

Naskah Hadits



اْلحَدِيْثُ فِي اْلمَسْجِدِ يَأْكُلُ اْلحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ اْلبَهَائِمُ اْلحَشِيْشَ


“Berbincang-bincang di masjid akan memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana binatang-binatang ternak memakan rerumputan.”

Kualitas Hadits

Hadits ini Tidak ada asal (dasar)-nya.

Takhrij Hadits

Hadits ini diketengahkan oleh al-Ghazali di dalam kitabnya Ihyaa` ‘Uluumid Din (I/136). Kemudian, pentakhrij hadits kitab ini, al-Hafizh al-‘Iraqi berkata, “Aku tidak menemukan akar (dasar)-nya.” Hal ini juga dicatat al-Hafizh di dalam kitab Takhrij al-Kasysyaaf.

‘Abdul Wahhab bin Taqiyuddin as-Subki di dalam kitab Thabaqaat asy-Syaafi’iyyah (IV/145147), “Aku tidak menemukan sanadnya.”

Sedangkan teks yang masyhur dalam perbincangan orang-orang (dari mulut ke mulut) berbunyi, “Pembicaraan yang mubah (dibolehkan, bukan haram) di masjid akan memakan semua kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar” padahal itu itu juga.

(SUMBER: Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fii al-Ummah karya Syaikh al-Albani, Jld.I, h.60, no.4)

Silsilah Hadits-Hadits Dla’if Pilihan-3 [Besar-besarkan Qurban...] (karya Syaikh al-Albany)

Mukaddimah

Pada menjelang hari-hari ‘Idul Qurban ini banyak kita dengar para khatib membacakan hadits-hadits yang intinya memberikan sugesti agar kita berkurban, tetapi kadangkala di antara hadits-hadits tersebut banyak yang perlu ditinjau ulang lagi, apakah kualitasnya terjamin alias dapat dijadikan hujjah atau kah tidak.?

Salah satunya adalah hadits yang kita kaji kali ini, silahkan simak selanjutnya.!!

Teks Hadits



عَظِّمُوْا ضَحَايَاكُمْ فَإِنَّهَا عَلَى الصِّرَاطِ مَطَايَاكُمْ


“Besar-besarkan qurban-qurban kamu sebab ia akan menjadi kendaraanmu di atas shirath (kelak).”

Kualitas hadits: Tidak ada asalnya dengan lafazh semacam ini.

Ibn ash-Shalaah berkata, “Hadits ini tidak dikenal dan tidak tsabit (valid).”

Dinukil oleh syaikh Isma’il al-‘Ajluny di dalam kitab Kasyf al-Khafaa`, sebelumnya dinukil oleh Ibn al-Mulaqqin di dalam kitab al-Khulashah (Jld.II, h.164), dia menambahkan, “Menurutku, pengarang Musnad al-Firdaus menisbatkannya dengan lafazh “Istafrihuu” sebagai ganti lafazh “’Azhzhimuu” (di atas). Kedua-duanya bermakna, “Berkurbanlah dengan qurban yang mahal, kuat dan gemuk.”

Syaikh al-Albany mengomentari: “Dan sanadnya Dla’if Jiddan (lemah sekali).

(Lihat, Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’ifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fi al-Ummah, Jld.I, h.173-174, no.74)

Di dalam buku yang sama, jld.III, h.411, no.1255, Syaikh al-Albany mengetengahkan hadits lainnya yang semakna dengan hadits di atas, hanya berbeda lafazh saja, yaitu dengan teks:



اِسْتَفْرِهُوْا ضَحاَيَاكُمْ فَإِنَّهَا مَطَايَاكُمْ عَلَى الصِّرَاطِ



Syaik al-Albany mengomentari:
“Kualitasnya Dla’if Jiddan (Lemah Sekali). Hadits ini diriwayatkan oleh adl-Dliyaa` di dalam kitab al-Muntaqa Min Masmuu’aatihi Bi Marw (Jld.II, h.33), dari Yahya bin ‘Ubaidullah, dari ayahnya, dia berkata, ‘Aku mendengar Abu Hurairah berkata, … Lalu ia menyebutkannya secara marfu’.”

Menurutku (Syaikh al-Albany):

“Sanad ini Dla’if Jiddan . Alasannya, ada cacat pada periwayat bernama Ibn ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin Mawhib al-Madany. Ahmad berkata, ‘Ia bukan periwayat yang Tsiqah.’ Ibn Abi Hatim dari ayahnya berkata, “Ia seorang periwayat hadits yang lemah, bahkan hadits yang diriwayatkannya Munkar Jiddan.” (Hadits Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang lemah bertentangan dengan riwayat-riwayat para periwayat yang Tsiqat-red.,).

Imam Muslim dan an-Nasa`iy berkata, “Haditsnya ditinggalkan (tidak digubris).”

Sedangkan ayahnya, ‘Ubaidullah adalah seorang periwayat yang Majhul (anonim).

Imam asy-Syafi’iy dan Ahmad berkata (lafazh ini berasal dari Ahmad), “Ia periwayat yang tidak dikenal.”

Sedangkan Ibn Hibban memasukkannya dalam kitabnya “ats-Tsiqaat” yang berkata, “Anaknya, Yahya meriwayatkan darinya, padahal ia tidak ada apa-apanya sedangkan ayahnya seorang periwayat yang Tsiqah. Terjadinya hadits-hadits Munkar pada haditsnya karena bersumber dari anaknya, Yahya.”

Kemudian saya (Syaikh al-Albany) melihat bahwa al-Hafizh Ibn Hajar dalam bukunya Talkhiish al-Habiir (Jld.IV, h.138) berkata, “Dikeluarkan oleh pengarang Musnad al-Firdaus dari jalur Yahya bin ‘Ubaidullah bin Mawhib…Dan Yahya adalah seorang periwayat yang Dla’if Jiddan.”

(Lihat, Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’ifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fi al-Ummah, Jld.III, h.411, no.1255)

Silsilah Hadits-Hadits Dla'if Pilihan-2 (karya Syaikh al-Albany)

HADITS KE-DUA


مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلاَتُهُ عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ، لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا



“Barangsiapa yang shalatnya tidak dapat mencegahnya dari melakukan perbuatan keji dan munkar, niscaya dia hanya semakin jauh dari Allah.”

KUALITAS HADITS

Kualitas hadits ini adalah BATHIL

Takhrij Singkat

Redaksi seperti ini dikeluarkan oleh Imam ath-Thabarany di dalam kitabnya al-Mu’jam al-Kabiir (3:106:2- dalam transkrip azh-Zhaahiriyyah), al-Qudlaa’iy di dalam Musnad asy-Syihaab (43:2), Ibn Abi Haatim di dalam Tafsir Ibn Katsiir (II:414) dan al-Kawkab ad-Daraary (83:2:1) dari jalur Laits dari Thâwûs, dari Ibn ‘Abbas.

Pendapat Para Ulama Hadits

1. al-Haafizh, Ibn Hajar berkata –ketika menyebutkan biografi Laits (salah seorang periwayat dari jalur hadits ini) di dalam bukunya Taqriib at-Tahdziib-, “Seorang yang Shaduuq, di akhir hayatnya banyak berubah (ngelantur) sehinggga tidak dapat membedakan haditsnya. Karena itu, dia ditinggal (tidak digubris perinwatannya).”

2. al-Haafizh al-‘Iraaqy di dalam bukunya Takhrîj al-Ihyaa` (takhrij hadits-hadits yang ada di dalam buku Ihyaa` ‘Uluum ad-Diin-red.,) pada jld.I, h.143, “Sanadnya Layyin.”

3. al-Haitsamy di dalam bukunya Majma’ az-Zawaa`id (I:134) juga mengaitkan cela/cacat hadits ini pada periwayat bernama Laits tersebut.

Di antara Komentar Syaikh al-Albany

Sanad hadits di atas lemah karena kapasitas seorang periwayatnya yang bernama Laits -bin Abi Sulaim-. Dia seorang yang lemah.

Al-Haafizh bin Jarîr juga mengeluarkan hadits ini di dalam tafsirnya (20:92) dari jalur yang lain, dari Ibn ‘Abbas secara Mawquuf (alias perkataan tersebut berasal darinya). Nampaknya inilah yang benar sekalipun di dalam sanadnya tersebut terdapat seorang yang anonim.

Imam Ahmad juga meriwayatkannya di dalam kitab az-Zuhd (h.159) dan ath-Thabarany di dalam al-Mu’jam al-Kabiir dari Ibn Mas’ud secara Mawquuf dengan lafazh,



مَنْ لَمْ تَأْمُرْهُ الصَّلاَةُ بِاْلمَعْرُوْفِ وَتَنْهَاهُ عَنِ اْلمُنْكَرِ، لَمْ يَزْدَدْ بِهَا إِلاَّ بُعْدًا


“Barangsiapa yang shalatnya tidak dapat mengajaknya untuk berbuat ma’ruf dan mencegahnya dari berbuat kemungkaran, niscaya ia hanya semakin membuatnya jauh.”

Sanadnya Shahiih sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Haafizh al-‘Iraaqy sehingga kembali kepada status Mawquuf.

Secara global, penisbahan hadits ini kepada Nabi SAW., tidak shahih. Ia hanya shahih berasal dari ucapan Ibn Mas’ud, al-Hasan al-Bashary dan diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas. (untuk lebih rincinya, silahkan rujuk ke sumber kajian ini)

(SUMBER: Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah karya Syaikh al-Albany, no.2, h.54-59)

Silsilah Hadits-Hadits Dla'if Pilihan-1 (karya Syaikh al-Albany)

Mengingat hadits Dla’if (Lemah) sangat banyak terpublikasi di tengah masyarakat awam dan bahayanya bagi ‘aqidah serta keberagamaan mereka, maka kiranya perlu diantisipasi dengan membongkar dan menyingkap hadits-hadits tersebut serta menjelaskan derajat (kualitas) nya sehingga umat menjadi melek karenanya.

Salah satu upaya yang patut diacungi jempol dan mendapat sambutan positif di kalangan ulama Islam kontemporer, adalah buah karya dari Syaikh al-‘Allamah, Nashiruddin al-Albany atau yang lebih dikenal dengan Syaikh al-Albany. Yaitu, buku beliau yang berjudul Silsilah al-Ahâdîts adl-Dla’îfah yang merupakan matarantai hadits-hadits Dla’if (lemah), yaitu yang dikategorikan Bathil, Tidak ada dasarnya, Tidak Shahih, Dla’îf Jiddan (Lemah Sekali), Munkar, Mawdlu’ (Palsu).

Dengan dimuatnya hadits-hadits tersebut diharapkan kepada kita agar menghindari penggunaannya dan mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang shahih saja. Dalam hal ini, Syaikh al-Albany juga menulis buku yang lain yaitu Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah dimana selain hadits shahih yang dimuat di dalam kitab ash-Shahîhain (Shahîh al-Bukhary dan Muslim), beliau juga telah menyaring dan menyeleksi hadits-hadits yang shahih saja di dalam kitab-kitab selain itu alias as-Sunan al-Arba’ah.

Tentunya, setiap upaya dan niatan yang baik perlu kita junjung dan sanjung dengan selalu berdoa agar Allah menerima amal para pencetusnya. Adapun kesalahan dan kekeliruan, pasti akan ada sebab manusia tidak terlepas dari hal itu, karenanya pula perlu penyempurnaan lebih lanjut atas upaya-upaya yang telah dirintis oleh Syaikh al-Albany tersebut.

Dalam penyajian rubrik ini, kami tidak memuat semua apa yang ditulis dan dipresentasikan oleh Syaikh al-Albany di dalam bukunya tersebut, sebab akan terlalu panjang, di samping ada hal-hal yang bersifat teoritis hadits yang kiranya akan menyulitkan bagi orang awam dan pemula. Tujuan kami di sini, hanyalah ingin mengingatkan dan memberikan wawasan kepada para pembaca bahwa hadits-hadits tersebut adalah lemah (Dla’if) yang para ulama sepakat untuk tidak menjadikannya sebagai hujjah dalam agama, kecuali terkait dengan hadits-hadits Dla’if dalam hal Fadlâ`il al-A’mâl (amalan-amalan ekstra yang bernilai lebih/utama) yang memang ada di antara para ulama memberikan persyaratan-persyaratan tertentu untuk mengamalkannya.

Terlepas dari hal itu, setidaknya apa yang kami muat ini kiranya dapat menjadi bekal bagi para pembaca untuk lebih berhati-hati di dalam menjalankan agama dan barangkali juga bisa mengingatkan orang-orang yang belum mengetahuinya. Rasulullah SAW., bersabda, “Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir (ghaib).”

Semoga amal ibadah dan niat kita senantiasa kita lakukan semata-mata untuk mendapatkan ridla-Nya dan bernilai ikhlash, amin.


1. HADITS PERTAMA



الدِّيْنُ هُوَ اْلعَقْلُ، وَمَنْ لاَ دِيْنَ لَهُ، لاَ عَقْلَ لَهُ



“Agama itu adalah akal, dan siapa yang tidak memiliki agama, maka berarti dia tidak berakal.”

KUALITAS HADITS

Kualitas hadits ini adalah BATHIL

Takhrij Singkat

Redaksi seperti ini dikeluarkan oleh Imam an-Nasa`iy di dalam kitab “al-Kuna” dan juga dikeluarkan darinya oleh ad-Dûlâby di dalam kitab “al-Kuna wa al-Asmâ`” dari Abu Malik, Bisyr bin Ghâlib bin Bisyr bin Ghâlib dari az-Zuhry dari Mujammi’ bin Jariyah dari pamannya secara marfu’ dengan tanpa dimulai dengan kalimat pertama di atas “ad-Dîn Huwa al-‘Aql” .

Pendapat Para Ulama Hadits

1. Imam an-Nasa`iy, “Ini adalah hadits Bathil dan Munkar.”
2. Ibn Hajar (ketika mengomentari lebih kurang 30-an hadits tentang keutamaan akal yang dikeluarkan oleh al-Hârits bin Abi Usâmah di dalam musnadnya) berkata, “Semuanya Mawdlu’”
3. Ibn al-Qayyim, “Hadits-hadits tentang akal semuanya adalah dusta.”

Komentar Syaikh al-Albany

Alasan kelemahan hadits ini adalah pada salah seorang periwayatnya yang bernama Bisyr karena dia seorang periwayat yang Majhûl (anonim) sebagaimana dikatakan oleh al-Azdy dan disetujui oleh Imam adz-Dzahaby di dalam kitabnya Mîzân al-I’tidâl Fî Naqd ar-Rijâl dan Ibn Hajar al-‘Asqalâny di dalam bukunya Lisân al-Mîzân.

Semua hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan akal tidak ada satupun yang shahih, sehingga berkisar antara kualitas Dla’if dan Mawdlu’ (Palsu). Hadits-hadits seperti ini banyak terkoleksi di dalam buku “al-‘Aql wa Fadl-luhu” karya Abu Bakar bin Abu ad-Dun-ya atau yang lebih dikenal dengan Ibn Abi ad-Dun-ya bahkan beliau mengkritik diamnya pentashih buku tersebut, Syaikh Muhammad Zâhid al-Kautsary atas riwayat-riwayat yang kualitasnya demikian.

(SUMBER: Silsilah al-Ahâdîts adl-Dla’îfah karya Syaikh al-Albany, no.1, h.53-54)